Pemerintah RI Gesa Sekolah Garuda, Revolusi Pendidikan yang Dinilai Ciptakan Kesenjangan Baru

InNalar.com – Pemerintah diketahui menggesa dua program ambisius yang diklaim dapat mengubah lanskap pendidikan Indonesia, salah satunya melalui pembangunan Sekolah Garuda, yang dirancang khusus untuk anak-anak dengan kemampuan di atas rata-rata.

Sekolah Garuda ini akan langsung berada pada naungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiksaintek). Seakan tidak main-main dengan program ambisiusnya kali ini, Pemerintah diketahui menerapkan standar pendidikan yang super ketat di institusi ini.

Kini, Pemerintah akan memproyeksikan 40 Sekolah Garuda; 20 adalah sekolah baru, sedangkan 20 lainnya adalah sekolah yang akan diubah statusnya. Rencananya, pembangunan ini mulai di-grounding dengan anggaran fantastis senilai Rp 341 miliar.

Baca Juga: 5 Hal Mencengangkan Kuliah Teknik Nuklir, Jurusan Paling Angker dan Langka di Indonesia Tapi Bikin Penasaran

Untuk skema penerimaannya ini ada tiga jalur; 50% jalur mandiri, 30% jalur afirmasi dari keluarga pra-sejahtera, dan 20% lainnya adalah jalur mandiri. Jadi, tiap satu lembaga akan berisikan kurang lebih sekitar 480 siswa yang nantinya juga akan tinggal di asrama.

Satryo Soemantri Brodjonegoro, selaku Mendiksaintek, menyebutkan bahwa sekolah ini dirancang khusus layaknya lembaga pre-university beracuan kurikulum International Baccalaureate (IB), untuk mempersiapkan siswa untuk lanjut ke jenjang perguruan tinggi.

Di tempat inilah para murid akan ditempa dan dibekali keterampilan yang matang, agar mereka bisa menaklukkan kampus-kampus terkemuka di luar negeri. Karenanya, sekolah ini akan menjadi pabrik pencetak generasi yang siap menyabet deretan prestasi yang gemilang di kancah global.

Baca Juga: Bak Belajar di Colorado AS, Sekolah Internasional Super Elit Jember ini Hampir Dikira Istana Kepresidenan

Meski Sekolah Garuda hadir dengan segala gemerlap keistimewaan, namun tidak sedikit pihak yang melontarkan kritik pedas terhadap program ini—seolah hendak membuka mata publik bahwa pemerintah seakan terobsesi dengan rancangan program yang digembar-gemborkan revolusioner.

Kendati begitu, beberapa program revolusioner itu pada akhirnya belum membuahkan hasil nyata, karena banyaknya klaim dan janji dalam dunia pendidikan yang belum terpecahkan.

Pertanyaannya adalah, apakah program ini akan mengentas akar masalah yang selama ini belum terjamah, atau justru memperburuk kesenjangan pendidikan yang sudah ada?

Baca Juga: 3 Kampus Terluas se-Jawa Tengah, Paling Lega Ada di Semarang Luasnya 2 Juta Meter Persegi

Sebagaimana diketahui, ambisi Pemerintah untuk menggesa pembangunan SMA Garuda ini justru menuai gelombang kritik, karena hadir di tengah carut-marutnya realitas pendidikan di Indonesia.

Banyak pihak menilai, alih-alih berfokus pada persoalan kesejahteraan guru untuk meningkatkan kualitas pengajaran, proyek ambisius ini justru menambah permasalahan baru.

Bagaimana tidak, menimbang banyaknya guru yang masih berkelindan di bawah garis prasejahtera, sekolah itu malah mendatangkan guru-guru bereputasi internasional.

Lebih dari itu, masih banyak lembaga pendidikan yang terbengkalai, tapi Pemerintah justru menggelontorkan dana Rp 341 miliar. Lalu, apakah prioritas mereka itu kini sudah sesuai dengan tempatnya?

Ubaid Matraji, selaku Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), mengungkapkan kekhawatirannya bahwa sekolah ini justru mencipta jurang antar kelompok dalam masyarakat. Ia menilai bahwa sekolah ini justru berpotensi memicu adanya segregasi sosial yang akan memperlebar ketimpangan di masyarakat yang

Baca Juga: 5 Sekolah Termahal di Indonesia, Biaya Tertingginya Hampir Setengah Miliar Rupiah

Melansir e.journal.undip.ac.id, segregasi seringkali dipicu oleh faktor sosial, baik dari segi budaya pun atau ekonomi.

Faktor inilah yang berperan besar dalam membentuk perilaku sosial, karena bisa memengaruhi banyak preferensi individu; dapat memperparah ketidaksetaraan, bahkan bisa memicu gelombang diskriminasi yang lebih besar.

Senada dengan yang tertulis dalam jurnal Amalia (2014), Ubaid juga menjelaskan bahwa Sekolah Garuda ini juga berpotensi memperparah kesenjangan dan diskriminasi dalam dunia pendidikan. Ide yang diklaim cemerlang ini justru dianggap langkah mundur seperti kembali ke era kolonial.

Baca Juga: 5 Fakta Menarik Kampus UNDIP Semarang, Salah Satunya ‘Dipyo’ si Pencegah Kaki Keram Andalan Mahasiswa

Pasalnya, pendidikan di era tersebut memiliki pola yang sama dengan institut pendidikan ini, karena hanya bisa dinikmati oleh kaum elit.***