Komisi III DPR Sebut Kasus Jessica Wongso Berpotensi ‘Sesat’, Kejanggalan Fatal Ini Jadi Penyebabnya


inNalar.com –
Kasus Kopi Sianida rupanya tidak hilang terbebas dari sorotan Komisi III DPR.

Penanganan Kasus Jessica Wongso dinilai oleh elit DPR masih dipenuhi celah kejanggalan dan bukti yang rapuh.

Bahkan disebut oleh salah satu anggota komisi III DPR, Hinca Pandjaitan, kasus Jessica Wongso ini berpotensi disebut ‘sesat’.

Baca Juga: Update Terbaru Pembangunan Gedung GIK UGM Jogja, Proyek Sokongan APBN Rp557 Miliar Ini Sudah Beres?

Ungkapan kata ‘sesat’ sejatinya tidak murni dari Bang Hinca. Rekan seperjuangannya di komisi III DPR, Benny Harman urun sebut hal ini.

Bukan tanpa alasan, peristiwa yang menyebabkan kematian Mirna ini dinilai masih penuh dengan bukti yang meragukan.

Barang bukti autopsi korban menjadi salah satu celah kejanggalan yang disorot oleh Bang Hinca dan Bung Benny.

Baca Juga: Richard Byron Collins, Satu-Satunya Saksi Ahli Australia Kubu Jessica Wongso yang Bebas Kontroversi

Sebagian saksi ahli patologi forensik meragukan penyebab kematian Mirna yang disebut karena racun sianida.

Istilah ‘No Autopsy No Crime’ pun seringkali disebut oleh Pengacara Jessica Wongso, Otto Hasibuan.

Dalam podcast yang dipandu oleh Host Rey Utami, Anggota Komisi III DPR Hinca Pandjaitan urun buka suara menyorot kejanggalan kasus kopi sianida ini.

Baca Juga: 3 Daerah di Jawa Barat Jadi Kota dengan Polusi Terburuk se-Indonesia: Juaranya Depok!

“Kalau autopsi adalah syarat, salah satu syarat utama untuk memastikan seseorang meninggal dan kenapa meninggal maka jikalau itu tidak ada ini yang Benny sebut sesat,” ucap Bang Hinca.

Sebagai selingan informasi, Bang Hinca dan Bung Benny merupakan anggota komisi III DPR yang berasal dari Fraksi Partai Demokrat.

Sebagai anggota komisi yang membidangi ranah hukum, Hak Asasi Manusia, dan keamanan, keduanya mengaku intens menyorot kasus Jessica Wongso ini.

Baca Juga: Delapan Tahun Lebih di Tahanan Gegara Kasus Kopi Sianida, Jessica Wongso: Jalanin Aja, yang Penting Memaafkan

“Meskipun sudah diputus dan sudah dijalani hukuman oleh Jessica dan kami tidak ingin intervensi case-nya. Tapi tidak bisa menutup mata menutup telinga betapa masyarakat di luar sana bereaksi,” kata Hinca Pandjaitan.

Menurut Bang Hinca, meski kasus ini sudah melalui serangkaian proses perjalanan hukum yang panjang, yakni 8 tahun, kasus ini masih bisa dilanjutkan pengusutannya.

“Kasus ini kan 2016 ya, tetapi sekalipun sudah lolos dari komisi III tak serta merta, kan hakim juga adalah manusia biasa,” lanjutnya menegaskan.

Baca Juga: Bukti Baru Kopi Sianida Tersorot Usai Jessica Wongso 8 Tahun di Penjara, DPR: Keadilan di Indonesia Tercecer

Ia pun menyebutkan bahwa kasus kopi sianida ini bukan perkara biasa sebab proses perjalanan sidangnya disiarkan secara langsung di beberapa stasiun televisi negeri.

Belum lagi, menurutnya, media sosial kini menjadi ruang kaca yang sangat transparan.

Munculnya deretan kejanggalan yang diklaim sebagai bukti baru kasus kopi sianida perlu ditanggapi dengan serius oleh pihak terkait yang berwenang.

Baca Juga: Jaksa dan Hakim Kasus Kopi Sianida Disebut Kebal Hukum Meski Vonis Jessica Wongso Cacat, Kok Bisa?

“Itulah yang saya sebut dalam bahasa saya di komisi III, tercecer rasa keadilan itu,” ucap Hinca Pandjaitan.

Disebutnya tercecer sebab novum baru muncul usai rangkaian hukum seolah telah selesai.

Di antara kejanggalan yang disorotnya mencakup adanya upaya rekayasa rekaman CCTV hingga langkah autopsi yang disebut tidak dilakukan.

Baca Juga: Jawaban Tegas dr Djaja soal Jessica Wongso dan Mayat Mirna Salihin dalam Kasus Kopi Sianida

Menurut Dr Hinca Pandjaitan, bukti baru kasus Jessica Wongso ini membuka peluang kelanjutan perkara yang sudah diputuskan 2016 silam.

“Jikalau sudah diputus tapi masih tercecer bukti-bukti baru, novum-novum baru yang di sana, dimana-mana, dan kemudian ditemukan kembali, hukum membuka peluang untuk tetap meninjau keadilan itu,” ucap Bang Hinca.

Menurutnya, keadilan tidak boleh menemui jalan buntu. Sebab jika memang Jessica tidak bersalah dalam kasus ini maka hal ini menjadi tidak fair.***

Rekomendasi