

inNalar.com – Pada tahun 2016, masyarakat sempat dihebohkan dengan perkara pidana yang fenomenal, yaitu kasus kopi sianida.
Kasus kriminal tersebut melibatkan seorang wanita berusia 27 tahun yang ditetapkan sebagai terpidana bernama Jessica Wongso.
Jessica Wongso ditahan karena membuat Mirna Salihin meregang nyawa saat memasuki usia 2 bulan pernikahan.
Baca Juga: Mengenang Buah Pemikiran Ekonom UI Faisal Basri dalam Tulisannya ‘Rumah Indonesia, Rumah Kita’
Kasus ini bahkan melewati 32 kali persidangan hingga akhirnya Jessica divonis 20 tahun penjara.
Selama proses peradilan, banyak konspirasi beredar mulai dari asuransi, cinta segitiga, sampai Jessica yang disebut mempunyai kepribadian berdarah dingin.
Diketahui, perempuan yang akrab dipanggil Jes itu sering menunjukkan mimik muka datar dan tenang.
Baca Juga: Sudah Dapatkan Banyak Remisi, Jessica Wongso Tetap Akan Ajukan PK, Itu Kontroversi!
Usai dinyatakan bebas bersyarat pada 18 Agustus 2024 lalu, Jes dan kuasa hukumnya Otto Hasibuan meluruskan persepsi tersebut lewat siniar Fristian Griec Media Official.
Menurutnya, ia bukanlah pelaku, serta harus berani dan tenang dalam menghadapi sidang.
Karakter itu membuat para jaksa penuntut umum menghadirkan pakar psikologi dan ahli ekspresi mikro untuk membaca profiling Jessica Wongso.
Fristian Griec kemudian mengutip perkataan Reza Indragiri bahwa jika terdapat profiling tentang terdakwa, artinya jaksa tidak memiliki alat bukti yang kuat.
“Jadi yang diserang ketika 2016 itu adalah kepribadian Jes,” ujar Fristian.
Otto Hasibuan menegaskan kepribadian adalah sesuatu yang subjektif, sebagai contoh ada orang pemarah namun tidak membunuh.
Begitu pula sebaliknya orang baik ternyata melakukan pembunuhan.
“Jadi enggak bisa dipakai ukuran orang baik atau tidak orang baik menjadi bersalah atau tidak bersalah,” terangnya.
Ia menilai penilaian psikologis yang ditampilkan oleh JPU sebagai kesalahan karena hal tersebut tidak diperbolehkan secara hukum.
Baca Juga: Gemar Diaspora ke Hongkong, Ini Dia 5 Daerah Penghasil TKI di Jawa Tengah: Cilacap Memimpin!
Selain itu, putusan hakim dianggap berdasarkan keyakinan yang terbentuk dari persepsi tanpa mempertimbangkan bukti.
“Keyakinan hakim itu hanya bisa muncul berdasarkan bukti yang sudah ada,” imbuh Otto Hasibuan.
Jessica Wongso dibebaskan secara bersyarat oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan karena konsisten berkelakuan baik.
Selain itu, ia tidak pernah melanggar peraturan dan aktif mengikuti kegiatan, seperti bekerja di bagian administrasi, membuat desain, dan mengajar bahasa Inggris.
Jes memperoleh remisi 58 bulan 30 hari dengan rincian remisi umum, khusus, dan tambahan.
Walaupun sudah bisa hidup normal seperti masyarakat biasa, Jessica Wongso tetap diwajibkan memenuhi laporan dan menjadi warga binaan sampai tahun 2032.
Otto Hasibuan pun menganggap kebebasan kliennya sebagai pembenaran dari tanggapan khalayak 8 tahun silam.***