

inNalar.com – Kematian Mirna menyisakan banyak misteri. Kasus Jessica Wongso seolah tampak berlubang besar pada satu hal, yaitu autopsi kematian Mirna.
Pertanyaan besar mengenai ‘Mirna dilakukan autopsi atau tidak?’ akhirnya menjadi ruang sengit bagi dua sosok alumni UGM ini.
Meski sesama kawan alumni UGM, tetapi kedua sosok ini bertemu sebagai lawan di Kasus Kopi Sianida. Keduanya adalah Pengacara Jessica Wongso, Otto Hasibuan dan Saksi Ahli Hukum Pidana Prof Eddy Hiariej.
Baca Juga: Pihak Jessica Wongso Bersikukuh Ajukan PK, Hanya Satu Kali dan Terutup Sudah Kesempatan…
Dalam ruang podcast yang berbeda, keduanya saling mengungkap fakta mengejutkan terkait kasus pembunuhan ini.
Keduanya mengungkapkan pendapat yang saling bertolakbelakang mengenai teori penanganan hukum pada kematian Mirna.
Menengok apa yang disampaikan oleh Otto Hasibuan bahwa suatu peristiwa baru dianggap sebagai sebuah kasus apabila ada hasil autopsi yang menerangkannya.
Istilah yang sering ia gaungkan untuk menegaskan argumennya di kasus Jessica Wongso adalah ‘No Autopsy No Crime’.
Prinsip itu pula yang selalu ia ajarkan kepada mahasiswanya.
Lebih lanjut, Bang Otto mengungkap bahwa jika praktik ketiadaan autopsi ini sampai lolos dalam satu kasus hingga P21, begini ungkapannya.
Baca Juga: Pemilik KTP Ini Selamat Ya! Bansos Rp 2,4 Juta Akan Dicairkan Bulan Ini, Begini Cara Mengeceknya
Bang Otto menyebut apabila praktik seperti ini dilakukan, yakni proses autopsi tidak diindahkan dalam penanganan kasus ini, “Semua para dosen dan alumni (jadi) korban,” ucapnya.
Maksudnya, apabila hal berkaitan dengan autopsi ini justru tidak diindahkan dalam kasus ini, maka para mahasiswanya lah yang menjadi korban.
“Saya mengajar juga di Gadjah Mada. Saya ajarkan juga tentang hal-hal autopsi,” ucap Kuasa Hukum Jessica Wongso, dikutip dari siniar Deddy Corbuzier.
Baca Juga: Polemik Kasus Kopi Sianida Penjerat Jessica Wongso Disebut Tidak Akan Pernah Berakhir, Ini Alasannya
Berbeda ungkapannya dari apa yang diungkapkan Prof Eddy Hiariej, sosok Dosen senior di Fakultas Hukum UGM.
Menurut Prof Eddy, penanganan pada kematian Mirna dinilai sudah benar dan sah.
Sebab pengambilan sampel pada lambung Mirna hingga pembukaan beberapa organi korban sudah dapat dikatakan menjadi bagian dari prosedur otopsi.
Baca Juga: Kunci Blue Bird Jadi Layanan Angkutan Terbaik: Kesejahteraan Karyawan Nomor 1
Tindakan ketika korban Mirna dibelah dadanya, diambil sampel pada dada, lambung, hati, dan empedu, “Jadi kalau bukan otopsi apa namanya?” ucap Eddy.
Hanya saja, proses autopsi yang dilakukan pada korban Mirna disebut sebagai Otopsi Parsial.
Otopsi jenis ini merupakan tindakan memeriksa bagian tertentu tubuh korban.
Biasanya tindakan ini dipilih karena pihak keluarga hanya mengizinkan tindakannya hanya terfokus pada bagian tertentu jenazah saja.
Dalam perspektif hukum, Autopsi Parsial juga dijelaskan dalam buku berjudul “Encyclopedia of Forensic and Legal Medicine”.
Pemeriksaan mayat jenis ini dapat dilakukan dalam kondisi tertentu. “Namun, nilai pemeriksaan terbatas tersebut masih kontroversial,” dikutip dari sebagian penjelasan dalam buku tersebut.
Baca Juga: SELAMAT! ANDA Terdaftar Penerima Bansos Rp 2,4 Juta PKH 2024, Simak Cara Mencairkannya di Sini
Hal ini bukan tanpa alasan akan menyebabkan kontroversi lanjutan. Meski di satu sisi, penanganan autopsi sebagian ini akan dapat membuat dugaan penyebab kematian dapat ‘dikonfirmasi’.
Namun ‘konfirmasi’ penyebab kematian korban disebut akan selalu, sampai batas tertentu.
Artinya, hasil pemeriksaan berpotensi menimbulkan kecurigaan lanjutan jika kepastian kasus hanya dapat ditemukan apabila mayat diotopsi secara lengkap.***