

inNalar.com – Awal mula persebaran pondok pesantren di Sulawesi Selatan rupanya tidak lepas dari kesejarahan pondok pesantren yang satu ini.
Bermula dari sosok Gurutta As’ad, ulama asal Bugis yang mengawali geliat pondok pesantren di Sulawesi Selatan.
Berkat kemahiran sosoknya dalam menjaga relasi intelektual dengan muridnya, ia berhasil mengembangbiakkan pesantren di daerahnya.
Tidak heran apabila madrasah yang dibangunnya hingga kini menjadi pesantren tertua di tanah Bugis.
Selain itu, pesantren asuhannya pun menjadi cikal bakal lahirnya sejumlah pesantren di provinsi ini.
Kabar baiknya, hingga kini jumlah Madrasah Tsanawiyah (MTs) di provinsi yang satu ini sudah menyebar 799 sekolah.
Adapun geliat persebaran Madrasah Aliyah (MA) di tanah Bugis tersebut sudah menggurita hingga 461 sekolah.
Inilah Pondok Pesantren As’adiyah yang dahulu disebut sebagai Madrasatu Al ‘Arabiyyatu Al Islamiyyah (MAI).
Lembaga pendidikan Islam tersebut berhasil menjadi pondok pesantren tertua di Sulawesi Selatan.
Eksistensinya di dunia kepesantrenan telah berlangsung selama 94 tahun, tepatnya sejak tahun 1930.
Tahun demi tahunnya, pesantren yang terletak di Kabupaten Wajo ini semakin berkembang pesat.
Daya pikatnya adalah rasa penasaran masyarakat Sulawesi Selatan terhadap sosok pendiri Pondok Pesantren As’adiyah.
Banyak putra-putri muslim di Kabupaten Wajo, bahkan dari provinsi lain pun ingin berguru langsung dengan sang guru KH Muhammad As’ad.
Pesatnya pondok pesantren ini rupanya tidak lepas dari dinamika yang menantang eksistensi As’adiyah.
Kota dimana pesantren ini berdiri, yaitu Sengkang, sempat dilahap api pada tahun 1973.
Baca Juga: IMABTA UGM Gaet PPI Dunia Kawasan Timur Tengah dan Afrika dalam Giat ‘Pekan Budaya Timur Tengah’
Terbakarnya Kota Sengkang rupanya juga membuat pondok pesantren tertua di Sulawesi Selatan ini ikut termakan lahapan api.
Sejak peristiwa kelam tersebut akhinya Pondok Pesantren As’adiyah bergeser alias pindah ke Jalan Veteran Sengkang.
Berkat kegigihan para pembentuk pesantren ini, lembaga pendidikan Islam ini berhasil membuka jenjang sekolah secara lengkap.
Adapun jenjang sekolah yang hingga kini berhasil dibuka meliputi RA, MI, MTs, MA, hingga perguruan tinggi.
Hebatnya, hingga kini Pondok Pesantren As’adiyah telah berhasil tersebar hingga 500 cabang dari Sumatera hingga Papua.
Tidak hanya kesejarahannya yang cukup membuat gentar, rupanya pondok pesantren tertua di Sulawesi Selatan ini tawarkan kurikulum khasnya.
Kurikulum khusus tersebut menjadi pembeda dari pondok Islam lainnya di seluruh Indonesia.
Terdapat kurikulum pengajian halaqah yang ditujukan untuk membina dan melahirkan ulama baru As’adiyah.
Jadi pengajian halaqah ini diselenggarakan setelah sholat subuh dan maghrib.
Para santri mengkaji satu kitab yang sama dengan ustadznya. Namun yang beda kali ini adalah dalam proses belajar mengajar mereka menggunakan Bahasa Bugis.
Pengajian halaqah ini dirutinkan pihak pesantren sejak santrinya berada di bangku MTs, MA, hingga Ma’had Ali.
Sebagai informasi, pondok pesantren ulung Sulawesi Selatan ini telah memiliki sejumlah alumni yang tidak diragukan lagi kualitasnya.
Seperti sejumlah guru besar dan dosen di UIN Alauddin Makassar meliputi Prof Kamaruddin Amin, Prof Dr H Raffi Yunus Martag, Prof Dr Karim Hafid, Prof Dr Kalamuddin Abu Nawas, hingga, hingga Prof Dr Abustani Ilyas.
“Rata-rata alumni As’adiyah yang dulu-dulu kualitasnya diakui khalayak,” ungkap KH Abu Nawas Bintang, dikutip inNalar.com dari Pusat As’Adiyah.
Pondok pesantren di Sulawesi Selatan ini rutin menyebar dari ke daerah sekitarnya, ke pelosok negeri, bahkan hingga Malaysia.***