
Ruang publik Gorontalo kembali diguncang. Sebuah video singkat yang beredar di media sosial memperlihatkan seorang anggota DPRD Provinsi Gorontalo, Wahyudin Moridu, melontarkan pernyataan mabuk yang menyulut kemarahan publik. Tidak hanya soal kata-kata kasarnya, tetapi juga karena ia adalah putra dari mantan bupati yang namanya telah lama dikaitkan dengan kasus korupsi besar.
Video itu memperlihatkan Wahyudin mengemudikan mobil menuju Bandara Djalaluddin Tantu Gorontalo bersama seorang perempuan. Dalam kondisi yang diduga mabuk, ia bersuara lantang: “Hari ini menuju Makassar menggunakan uang negara.” Tidak berhenti di situ, ia bahkan menambahkan dengan nada penuh ejekan: “Kita rampok aja uang negara ini kan. Kita habiskan aja, biar negara ini makin miskin.”
Pernyataan tersebut langsung menyulut kemarahan. Masyarakat Gorontalo menilai ucapan Wahyudin bukan hanya kelakar mabuk, melainkan refleksi mentalitas sebagian pejabat publik yang kerap memandang uang negara sebagai hak pribadi. Sosok perempuan yang menemaninya bahkan ia sebut sebagai “hugel”, singkatan dari hubungan gelap, yang semakin memperburuk persepsi masyarakat terhadap perilaku wakil rakyat itu.
Video itu pertama kali ramai diunggah di Facebook dan cepat menyebar melalui grup WhatsApp. Potongan kalimat kasar Wahyudin menjadi bahan perbincangan luas. Masyarakat mempertanyakan: apakah pernyataan itu hanya gurauan orang mabuk, atau justru gambaran sesungguhnya bagaimana seorang pejabat memperlakukan uang negara?
Dalam beberapa jam, nama Wahyudin menjadi trending di percakapan daring warga Gorontalo. Bukan hanya soal kata-kata kasar, melainkan juga fakta bahwa seorang anggota DPRD bisa dengan enteng menyebut negara sebagai objek rampokan. Di tengah kondisi ekonomi yang penuh tekanan, kata-kata itu terasa seperti menampar rakyat sendiri.
Tak lama setelah kegaduhan, Wahyudin mengunggah pernyataan maaf melalui akun Facebook resminya. Dengan gaya penulisan lugas tanpa banyak tanda baca, ia menulis:
“Apapun yg sya lakukan di video in sya akui SALAH dan tidak Menunjukan Etika Seorang Pejabat Publik. Teman2 sya menerima Hujatan dan Cemohan apapun itu atas hal in, Karna murni hal in kesalahan sya. Hal in tentunya membuat Kegaduhan di masyarakat Gorontao, Jujur dari hati yg paling dalam sya tdk bermaksud demikian. Atas Kejadian ini Saya mohon maaf beribu ribu maaf kepada seluruh Rakyat Gorontalo, bill Khusus kepada Semua pendukung dan Keluarga sya.”
Permintaan maaf itu menjadi upaya penyelamatan citra, namun publik terlanjur terlanjur geram. Sebagian menilai pengakuan salah adalah langkah positif, tapi sebagian lain menyebutnya sekadar damage control untuk mengurangi tekanan politik. Bagi rakyat, persoalannya bukan hanya soal mabuk, melainkan sikap dasar seorang pejabat publik yang semestinya menjaga integritas.
Gelombang protes tidak bisa dibendung. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), tempat Wahyudin bernaung, akhirnya mengambil sikap tegas. Pada Minggu, 21 September 2025, Sekretaris DPD PDIP Gorontalo, La Ode Haimuddin, mengumumkan keputusan partai:
“Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai telah secara resmi mengeluarkan sanksi terberat, yaitu pemecatan.”
La Ode menegaskan bahwa sanksi ini bukan sekadar penonaktifan.
“Saya tegaskan, ini bukan penonaktifan, pemberhentian sebagai anggota DPRD Provinsi Gorontalo.”
Konsekuensinya jelas: Wahyudin dicopot dari kursi DPRD Provinsi Gorontalo, dicabut statusnya sebagai kader PDIP, dan akan segera diganti melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW). Bagi partai, keputusan ini adalah cara untuk menjaga marwah, sekaligus meredam persepsi publik bahwa PDIP melindungi kader bermasalah. Namun, kasus ini juga membuka kembali pertanyaan lama: bagaimana mekanisme partai dalam merekrut kader, hingga figur dengan rekam jejak bermasalah bisa kembali melenggang ke kursi legislatif?
Kasus Wahyudin tidak bisa dilepaskan dari bayang-bayang ayahnya, Darwis Moridu. Mantan Bupati Boalemo itu kini berstatus tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan usaha tani (JUT) senilai Rp2,4 miliar di Dinas Pertanian Kabupaten Boalemo.
Penyidik Tipikor Ditreskrimsus, Kompol Tumpal Alexander, menyebut ada enam tersangka lain yang turut terlibat: SH, EN, AS, SK, SA, dan ST. Kasus itu menambah panjang daftar masalah hukum yang membelit Darwis.
Sebelumnya, Darwis pernah diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, pada 9 November 2020 melalui SK Nomor 131.75-3846. Alasannya bukan korupsi, melainkan kasus penganiayaan yang mengakibatkan kematian seorang warga bernama Awi Idrus. Dalam kasus itu, Darwis divonis hukuman penjara enam bulan, sebagaimana tercatat di situs resmi kejati-gorontalo.go.id.
Dengan jejak panjang kasus hukum itu, keluarga Moridu kerap dipandang sebagai simbol kontroversi di Gorontalo. Publik kini melihat, perilaku Wahyudin yang mabuk dan bicara seenaknya justru menambah daftar noda pada nama besar sang ayah.
Di dunia politik lokal, Wahyudin, yang akrab disapa Wahyu, bukan orang baru. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Pengurus Anak Cabang (PAC) PDIP Kecamatan Botumoito, Boalemo, pada periode 2019–2024. Dari situ, kariernya menanjak menjadi anggota DPRD Kabupaten Boalemo periode 2019–2024.
Pada Pemilu 2024, Wahyu berhasil terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Gorontalo, mewakili daerah pemilihan Boalemo – Pohuwato. Ia kemudian ditempatkan di Komisi I DPRD Provinsi.
Meski punya rekam jejak politik yang terlihat stabil, latar belakang pendidikannya sederhana. Wahyu menempuh SMA melalui paket C, lalu melanjutkan kuliah S1 di Universitas Ichsan Gorontalo pada 2016–2020.
Namun, catatan kelam juga pernah menjeratnya. Pada Maret 2020, ia tersangkut kasus narkoba bersama dua anggota DPRD lainnya di Jakarta. Meski kasus itu tidak berlanjut pada hukuman berat, publik mencatatnya sebagai bagian dari rekam jejak bermasalah Wahyu.
Pertanyaan pun mengemuka: bagaimana seorang figur dengan sejarah kasus narkoba dan bayang-bayang keluarga bermasalah bisa kembali diberi ruang oleh partai untuk duduk di kursi legislatif provinsi?
Video mabuk Wahyudin telah menimbulkan kegaduhan luas di masyarakat Gorontalo. Tidak sedikit warga yang menyebut kasus ini sebagai “cermin buruk” wajah politik lokal. Sorotan kembali tertuju pada nama keluarga Moridu yang seolah tidak pernah lepas dari kontroversi.
Bagi masyarakat, kasus ini bukan sekadar perilaku pribadi, tetapi soal integritas pejabat publik. Jika seorang anggota DPRD bisa dengan enteng mengajak merampok uang negara, bagaimana rakyat bisa percaya bahwa anggaran daerah dikelola untuk kepentingan umum?
Kegaduhan ini juga memunculkan kritik lebih luas terhadap mekanisme partai dalam membina kader. Apakah proses seleksi caleg dilakukan dengan serius, ataukah sekadar menimbang popularitas dan pengaruh keluarga politik?
Kasus Wahyudin Moridu memperlihatkan bahwa politik lokal di Gorontalo masih dibayangi oleh persoalan integritas dan dinasti. Ucapan mabuknya memang menjadi pemicu, tetapi masalah yang tersibak jauh lebih dalam: rekam jejak keluarga yang sarat kasus hukum, lemahnya penyaringan kader partai, dan minimnya standar etik dalam politik daerah.
Bagi PDIP, pemecatan Wahyudin adalah langkah tegas, tetapi juga pengakuan bahwa sistem kaderisasi belum sepenuhnya berhasil mencegah figur bermasalah masuk ke parlemen. Bagi publik Gorontalo, kasus ini adalah pengingat bahwa wajah politik daerah mencerminkan siapa saja yang dipilih, serta bagaimana partai mengelola tanggung jawabnya.
Wahyudin mungkin sudah jatuh, kursinya pun akan segera diganti melalui PAW. Namun pertanyaan yang lebih besar tetap menggantung: apakah publik dan partai akan belajar dari kasus ini, ataukah ia hanya akan menjadi satu episode kontroversi di antara panjangnya daftar skandal pejabat daerah?