Viral Wisuda SMK di Purwokerto Mewahnya Saingi Universitas, Acara Kelulusan Siswa Kini Jadi Ajang FOMO Tahunan

inNalar.com – Dulu, wisuda adalah sebuah momen sakral bagi mahasiswa. Suatu upacara akademik yang khidmat, identik dengan mahasiswa tingkat akhir yang menutup perjalanan panjangnya dengan toga, pengalungan samir, dan jabat tangan rektor.

Namun kini, sakralitas itu perlahan tergerus, bukan oleh waktu, tapi oleh tren FOMO kolektif yang menjadikan wisuda sebagai ajang gengsi lintas jenjang.

Lalu, bagaimana kabar simbol akademik? Yap! Betul sekali, kiranya seperti festival budaya pop yang digelar massal dengan euphoria setara dengan konser tribute Blackpink, hanya berbeda dari segi penonton yang notabene adalah para wali murid berseragam batik saja.

Baca Juga: Pendidikan Karakter ala Militer, 274 Siswa Digembleng Demi Pancawaluya Jabar Istimewa

Mulai dari SD, SMP, SMA hingga TK playgroup bilingual pun seakan tidak mau ketinggalan dengan para sarjana, mereka juga datang dengan paket lengkap, lho! Atribut seperti toga, selempang satin dengan font gold foil, dan bahkan bouquet bunga segede gaban.

Dekorasinya? Ballroom hotel bisa disulap jadi arena pencitraan akademik, LED screen seluas harapan orang tua, MC dengan gaya infotainment, dan videographer professional untuk memotret sinematik slow-motion lengkap dengan efek zoom dan latar musik yang seakan berhasil menang Nobel.

Untuk zaman sekarang, mungkin hanya bayi yang belum bisa duduk tegak saja yang belum merasakan euphoria wisuda. Tapi tenang saja, mungkin sebentar lagi ada tren bertajuk ‘Graduation from Womb’ untuk mereka.

Baca Juga: Latihan Soal Teks ‘Are Social Media Platforms Safe?’, Bahasa Inggris Kelas 12 SMA/MA Kurikulum Merdeka

Lihat saja salah satu SMK di Purwokerto yang belakangan ini viral di sosial media, bukan karena inovasi kurikulum atau prestasi nasional, tapi karena wisuda spektakuler yang nyaris membuat Universitas ternama merasa tersaingi.

Ballroom megah, lighting dramatis, lengkap dengan barisan siswa berbalut toga dengan muka yang sangat sumringah. Mungkin jika bukan karena nama sekolahnya tertulis di backdrop, netizen bisa saja salah mengira bahwa acara itu adalah wisuda magister jurusan menajemen strategis.

Memang benar, tidak ada yang salah dengan merayakan kelulusan, kok! Namun, yang problematis adalah ketika perayaan itu dikemas dalam bungkus pretensius yang meniru sakralitas universitas, dengan substansi yang belum sepadan.

Baca Juga: Terjemah Teks ‘Are Social Media Platforms Safe?’, Bahasa Inggris Kelas 12 SMA Kurikulum Merdeka

Dan pada titik inilah, reaksi pro dan kontra menjadi tidak terbendung. Pertanyaannya adalah, apa sebenarnya yang sedang dirayakan? Pendidikan atau pencitraan? Prestasi siswa atau prestise visual?

Darmaningtyas, selaku Pakar Pendidikan Nasional, seolah menjadi kiblat di tengah parade toga massal yang kian menjangkiti tiap jenjang pendidikan. Beliau dengan lugas menegaskan bahwa wisuda dari TK hingga SMA/K itu sebenarnya tidak perlu dilakukan.

Menurutnya, jenjang SMK pun bukan tempat yang relevan untuk menggelar seremoni yang meniru kemegahan universitas ternama.

Dan yap! Jangan lupakan “part terbaik” dari semua episode toga massal ini; biaya. Inilah klimaks yang tidak pernah absen dari plot besar bernama “kenangan tidak terlupakan”.

Para orang tua, entah karena cinta atau tekanan sosial, entah merasa Ikhlas atau terpaksa, mereka harus merogoh kocek hingga ratusan ribu hanya demi selempang dan sertifikat yang nantinya akan berakhir jadi pajangan di laci ruang tamu.

Alih-alih untuk glamor-glamoran seremoni, pakar pendidikan Darmaningtyas justru menyarankan sesuatu yang jauh lebih masuk akal tau lebih urgen, apalagi mayoritas siswa SMK bukan dari keluarga yang hidup di atas garis cukup.

Baca Juga: Karakter Dosbing Jokowi, Ir. Kasmudjo, Dibongkar Netizen Centang Biru, Ternyata Begini Sosoknya

Mari refleksi sejenak, apakah keberhasilan belajar kini ditentukan oleh megahnya dekorasi, atau kita semua sedang terjebak dalam kegilaan kolektif dengan berpura-pura bahwa selebrasi adalah substansi?

Wisuda seharusnya menjadi ruang kontemplasi, kan? Tonggak akhir yang pada akhirnya menjadi simbol transisi intelektual, bukan sekedar agenda tahunan yang diperlukan hanya untuk kebutuhan reels Instagram.

Jadi, jika benar pendidikan adalah untuk mengajarkan makna hidup, mari mulai untuk menghentikan absurditas wisuda antar jenjang ini, ya? ***