
inNalar.com – Tepat 20 tahun silam, sebuah tragedi tragis terjadi di luar sangkaan seluruh penduduk kampung nahas di Jawa Barat ini.
Tidak ada seorang pun yang menyangka sebuah gunungan sampah di TPA Leuwigajah, Cimahi Selatan mampu menenggelamkan dua kampung sekaligus hanya dalam kurun waktu semalam.
Tepatnya pada 21 Februari 2005, diam-diam tumpukan limbah menjadi penyebab tragedi tragis yang memilukan sekaligus memalukan bagi kesejarahan kota Bandung.
Baca Juga: Cawabup Eks Napi Terjegal, Kabupaten di Sumatera Barat Ini Akhirnya Diminta MK Gelar Pilkada Ulang
Siapa yang menyangka, timbunan rongsokan selebar 200 meter itu terburai hingga menutupi dua kampung bernama Cilimus dan Pojokan.
Menurut kisahnya, Kampung Cilimus dan Pojokan letaknya berdekatan dengan TPA Leuwigajah, Cimahi Selatan, Jawa Barat.
Sistem pengelolaan sampah yang belum menjadi perhatian Pemerintah RI kala itu tidak heran membuat gunungan limbah daerah mengemuka hingga tingginya mencapai 60 meter.
Baca Juga: Kabupaten di Jawa Barat Ini Beda Sendiri, Jadi Satu-satunya Daerah yang Dipimpin Tanpa Wakil Bupati
Akibat sistem pengelolaan limbah open-dumping, yaitu mencampur segala jenis sampah di lahan terbuka tanpa adanya pemilahan dan pemisahan, inilah yang membuat tragedi tragis pun terjadi.
Ketika limbah makanan dan organik bercampur dan bereaksi dengan udara hingga menghasilkan senyawa Gas Metana, hal tidak terduga terjadi.
Kala itu hujan deras semalam suntuk mengguyur daerah Cimahi, termasuk TPA Leuwigajah di Jawa Barat ini.
Baca Juga: 2 Jam dari IKN, Kota di Kalimantan Timur Ini Disebut Paling Irit Klakson di Indonesia
Sampah kian menggunung dan hujan pun terus mengguyur hingga reaksi gas metana yang semakin meningkat membuat tumpukan limbah berpuluh-puluh meter itu meledak.
Ledakan sampah tersebut menyeruak hingga radius 10 kilometer dari sekitar TPA. Alhasil, dua kampung yang dihuni sekitar 150 penduduk seketika tertimbun. Lantas, bagaimana nasib warganya?
Nahas, 150 warga yang kebanyakan berprofesi sebagai Pemulung tewas dalam tragedi tragis 20 tahun silam ini.
Pemukiman yang membentangi dua kampung itu seketika hilang dari peta hanya dalam waktu semalam.
Julukan bersejarah untuk kota legendaris Jawa Barat ini pun ketika itu bukan lagi ‘Bandung Lautan Api’.
Kandasnya dua perkampungan di Jawa Barat ini membuat daerah tersebut berjuluk ‘Bandung Lautan Sampah’.
Sejarah kelam salah satu daerah ini sudah sepatutnya menjadi renungan penuh bagi masyarakat di masa sekarang.
Melansir dari Low Carbon Development Indonesia, Indonesia ditengarai menghasilkan sampah makanan hingga 112 juta ton di tahun 2024.
Baca Juga: Strict Parents: Didikan atau Penjara? Ternyata Begini Dampaknya bagi Anak
Lebih terangnya, menurut studi Economist Intelligence Unit, Indonesia menjadi negara penghasil sampah makanan terbesar kedua di dunia.
Setiap tahun, warga negara kita mampu menghasilkan limbah makanan hampir 300 kilogram per hari dan per orangnya. Lantas, apakah Program MBG ini akan membawa kekhawatiran baru?
Jawabannya adalah tentu tidak selama tata kelola food waste dapat diatasi semaksimal mungkin.
Baca Juga: Mahasiswa Demo Geruduk Istana, Mensesneg Prasetyo Hadi Tantang Dialog Terbuka Soal Indonesia Gelap
Secara terpisah, Deputi Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi NFA Nyoto Suwignyo mengungkap bahwa Badan Pangan Nasional berkomitmen pula dalam tata kelola pangan.
Hal ini dilakukan pihaknya agar limbah makanan yang terbuang sia-sia dapat diminimalisir.
Gerakan Selamatkan Pangan menjadi salah satu solusi penyelamat agar tingkat food waste dapat ditekan.
Menimbang tengah digencarkannya pula Program Makan Bergizi Gratis di seluruh Indonesia, salah satu saran Ketua DPRD DKI Jakarta pun sangat bisa diperhatikan.
Menurutnya, sampah makanan Program MBG ini dapat disalurkan ke bank sampah untuk diolah kembali menjadi bahan ekonomis.
“Jadi pupuk dan makanan hewan. Itu semua bisa kalau dikelola dengan baik,” ucap Khoirudin, dikutip dari laman resmi DPRD DKI Jakarta.***