
inNalar.com – Hakikat Hak Asasi Manusia (HAM) ditegakkan tentu bertujuan untuk menjamin kebebasan individu, termasuk perihal kebebasan beragama. Di Yogyakarta, kaum transpuan masih saja terjegal dalam masalah dengan lanskap yang sama, karena dianggap telah mencoreng konstruksi sosial yang telah ada.
Untuk menggugah kesadaran akan pentingnya kesetaraan hak bagi transpuan yang kerap dianggap berbeda dari manusia pada umumnya, hadirnya Pondok Pesantren transpuan di Yogyakarta tentu menjadi satu pukulan telak bagi masyarakat. Penasaran? Simak artikel ini lebih lanjut, ya!
Ibarat sebuah cermin, fenomena ini tentu memantulkan satu ironi pahit, bahwa HAM sudah seharusnya menjadi milik semua manusia—bahwa mereka yang kerap termarjinal, juga memiliki hak yang sama untuk diterima selayaknya sesama.
Baca Juga: Bukan Sekadar Lulus, Sekolah SMA di Sidoarjo Ini Cetak Lulusan Berkelas Lewat Mata Pelajaran Unik
Sebagaimana diketahui, Arfanda dan Anwar (2015) menyebutkan, bahwa Indonesia ditengarai menjadi salah satu negara dengan jumlah transpuan cukup besar, yang menyentuh angka 3.887.000 pada 2007 silam.
Namun hingga kini, Kementerian Sosial (Kemensos) mengaku bahwa pihaknya belum memiliki data akurat terbaru, yang pada akhirnya menyulitkan lembaga untuk menyusun program dan kebijakan untuk mereka.
Melansir e-journal.metrouniv.ac.id, didapati fakta yang sangat menohok, bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia kerapkali resisten terhadap hak kebebasan beribadah, terutama bagi kaum transpuan yang kerap terasing saat menjalankan hak spiritualnya karena framing media yang seringkali tidak berangkat dari objektivitas fakta.
Baca Juga: Alasan Pondok Pesantren Perut Bumi Tuban Ini Ramai Diserbu Warga, Ternyata…
Menyadur konten Youtube China Kinsky, hal inilah yang kemudian menjadi stimulus besar bagi Maryani, seorang transpuan yang kemudian menginisiasi pendirian Pondok Pesantren Waria “Senin – Kamis” al-Fattah.
Pada awalnya, pondok ini berlokasi di Kampung Notoyudan GT II, Yogyakarta. Pondok Pesantren transpuan ini bahkan dibimbing oleh beberapa pemuka agama seperti K.H. Hamrolie, Ustadz Murtedja, Ustadz Muis, dan lain sebagainya.
Sepeninggal Maryani pada tahun 2014, pesantren waria ini berpindah lokasi ke daerah Ps Kota Gede Bantul, yang kemudian kepemimpinannya juga diberlanjutkan oleh Shinta Ratri di kediamannya.
Baca Juga: Bakal Produksi Hingga 534 Juta Ton! Prospek Bisnis Batubara Indonesia Semakin Gemilang
Lebih dari itu, sematan ‘Senin–Kamis’ juga dihilangkan menjadi Pesantren Waria al-Fattah saja—ini disesuaikan dengan branding pesantren yang tidak lagi berkutat di hari Senin dan Kamis saja.
Selain untuk menyuarakan pokok penting bahwa transpuan juga memiliki hak dalam ekspresi gender, mereka juga berharap besar kepada masyarakat untuk menghapus stigma buruk dan mendapatkan kesempatan yang sama, yaitu menjalankan perintah ibadah kepada TuhanNya dengan sebebas-bebasnya.
Tidak jauh berbeda dengan pondok pesantren lainnya, aktivitas keagamaan juga dilakukan selayaknya aktivitas di tempat lain. Tidak banyak yang kaum transpuan lakukan, hanya aktivitas biasa seperti sholat wajib, sholat sunnah, baca al-Qur’an, kajian dan pengajian umum, membaca asmaul husna, mujahadah, dan lain sebagainya.
Bagaimana, tidak neko-neko, kan? Kegiatan ini bahkan umum dilakukan, namun ironisnya beberapa organisasi masyarakat (ormas) keagamaan di Yogyakarta menentang keras dan menggeruduk pondok pesantren waria ini, karena ditengarai bahwa ada pengajaran tentang fiqh wanita di sana.
Meskipun mendapat pertentangan keras dari para ormas, keberadaan Pesantren al-Fattah ini perlahan diterima oleh masyarakat sekitar, khususnya warga Yogyakarta.
Lebih dari sekedar pondok, keberadaan al-Fattah yang tidak biner bagi kaum transpuan kini menjadi satu bukti nyata, bahwa agama kembali mempertegas peranannya—dengan hadir sebagai pelindung bagi mereka yang hidup seperti di pengasingan yang temarjinal dan terlupakan.
Dengan hadirnya Pondok Pesantren al-Fattah di Yogyakarta ini, banyak pelajaran yang harus diserap oleh masyarakat, bahwa hidup harus siap untuk menyatupadu dengan segala jenis perbedaan. Meski tidak mudah, tapi inklusivitas dalam hidup harus tetap dijunjung, guna menyongsong adanya kedamaian dan keadilan untuk sesama. ***