
inNalar.com – Di kota pelajar Yogyakarta yang katanya penuh kesederhanaan dan idealisme, mahasiswa Yogyakarta kini menghadapi dilema besar: apakah uang bulanan dari orang tua harus dihabiskan untuk makan sehat atau glowing sehat?
Survei Biaya Hidup Mahasiswa (SBHM) 2024 yang dilakukan oleh UPN ‘Veteran’ Yogyakarta bersama Bank Indonesia secara resmi membongkar satu rahasia besar generasi kuliah jaman now: setelah nasi dan lauk, skincare dan kopi ternyata jadi sumber kehidupan kedua.
Yap! Lifestyle telah naik pangkat menjadi kebutuhan primer, bersanding dengan karbohidrat dan protein. Kini, biaya hidup mahasiswa telah menjungkirbalikkan segala romantisme tentang Jogja sebagai kota hemat dan bersahaja.
Baca Juga: Dicoret MK, Barito Utara Gagal Punya Bupati, Penyebabnya Bikin Geleng Kepala
Ardito Bhinadi, Ketua Pusat Studi Ekonomi Keuangan dan Industri Digital UPN ‘Veteran’ Yogyakarta, menegaskan bahwa lifestyle nomor satu yang paling dikonsumsi mahasiswa saat ini adalah skincare. Tidak mengherankan jika kini tidak ada lagi wajah kusam pejuang skripsi, kan?
Bayangkan, rata-rata pengeluaran mahasiswa Jogja tahun ini mencapai Rp2,96 juta per bulan. Angka yang nyaris menyamai Upah Minimum Provinsi (UMP) DIY, padahal kontribusinya pada Produk Domestik Regional Bruto masih dalam bentuk demo dengan spanduk “dari rakyat untuk rakyat”.
Dari survei yang melibatkan 2.000 mahasiswa di 126 kampus di DIY, diketahui bahwa pengeluaran untuk skincare melonjak dari Rp159.620 pada 2020 menjadi Rp191.495 per bulan pada 2024. Kenaikannya konsisten, nyaris seiring dengan harga serum retinol di marketplace.
Baca Juga: Anak SD di Indramayu Viral Usai Memohon ke Dedi Mulyadi Buat Perbaiki Jalan Rusak 15 Tahun
Dan jangan salah, ini bukan monopoli mahasiswi. Mahasiswa pun kini menyadari pentingnya double cleansing sebelum rapat BEM. Siapa tahu, kalau kulit mulus, aspirasi lebih cepat diterima.
Yang tidak kalah signifikan adalah pengeluaran kaum Adam untuk nongki. Nongkrong kini tidak lagi sekedar ritual sosial, melainkan bentuk eksistensi intelektual.
Kafe menjadi ruang diskusi penting untuk membahas negara, relasi asmara, hingga pilihan tone warna IG feed. Kopi susu seharga Rp30.000 dianggap sebagai investasi jejaring, bukan pengeluaran konsumtif. Tentu saja, foto gelas harus tampil di story dengan kutipan Paulo Coelho.
Lalu di peringkat ketiga, barulah kos-kosan. Tapi bukan sembarang kos, ya! Kos-nya harus aman, bersih, dekat kampus, ada WiFi, dan punya pencahayaan natural bagus buat selfie. Karena percuma punya skincare mahal kalau pencahayaan kamar bikin wajah mirip babad alas.
Ironisnya, di tengah kampanye hijau dan retorika urban mobility yang menggema, generasi muda yang katanya paling peduli lingkungan, justru meninggalkan opsi transportasi paling ramah lingkungan.
Mahasiswa Yogyakarta tampaknya sudah “unfollow” sejak 2016. Minat terhadap moda angkutan massal terus mengalami penurunan, nyaris seperti grafik saham yang kehilangan sentimen positif.
Kini, mahasiswa lebih memilih mengepulkan asap motor matic dibanding berbagi bangku dengan penumpang lain di Trans Jogja.
Alasannya beragam, mulai dari jadwal yang tidak bersahabat, halte yang jauh, hingga stigma bahwa angkutan umum tidak cukup fleksibel untuk gaya hidup digital.
Survei Biaya Hidup Mahasiswa (SBHM) 2024 tidak hanya mengungkap besaran angka pengeluaran, tetapi juga menyajikan realitas sosial yang makin glossy; merek ponsel paling populer kini bukan lagi Samsung, tapi iPhone.
Baca Juga: Curang saat Seleksi Bintara, Oknum Polisi di Makassar Beri Contekan Jawaban ke Peserta Pakai ChatGPT
Harga rata-rata ponsel yang dimiliki mahasiswa tercatat Rp4,27 juta. Tapi tentu, kredibilitas dan estetika di media sosial tidak ternilai harganya. Lagi pula, dalam dunia akademik masa kini, preferensi merek bisa saja lebih menentukan daripada IPK, setidaknya dalam hal engagement.
Tepat sekali! Karena smartphone sekarang tidak hanya menjadi lifestyle, tapi juga menjadi bagian dari sosialitas dan statusisasi. Apalagi di era post-ironi seperti sekarang, kritik terhadap kapitalisme rasanya tak sah bila tak diketik lewat layar OLED, kan?
Meski demikian, kontribusi sektor pendidikan terhadap ekonomi DIY tetap konsisten di angka 8% dari PDRB, kok!
Baca Juga: Revisi UU ASN 2025 Jadi Drama Adu Tensi, Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Awal tahun ajaran baru masih menjadi musim panen ekonomi, terutama bagi sektor kos-kosan, toko alat tulis, dan klinik kecantikan. Siapa bilang pendidikan tak berdampak langsung pada ekonomi?
Dalam forum tersebut, Kepala Perwakilan BI DIY, Ibrahim, menekankan pentingnya inovasi, konsistensi, dan sinergi untuk menghadapi tantangan ekonomi ke depan. Tentu saja, sinergi ini tampaknya juga melibatkan kolaborasi antara mahasiswa, skincare lokal, dan barista kafe.
Tapi pertanyaannya kini adalah: SDM seperti apa yang sedang dibentuk? Apakah mahasiswa hari ini sedang dibekali nalar kritis, atau justru dibentuk menjadi konsumen sempurna dalam ekosistem kapitalisme digital?
Karena bila biaya hidup mahasiswa Yogyakarta sudah nyaris menyamai UMP, tapi didominasi oleh skincare dan kopi susu, maka barangkali kita sedang menyaksikan bukan sekadar perubahan gaya hidup, tapi juga transformasi kelas menengah semu. ***