Tepis Kontra Ekspor Pasir Laut, Potensi Cuan Indonesia Rp67 Triliun Disebut untuk Kesejahteraan Nelayan

inNalar.com – Ekspor pasir laut yang diperkirakan mampu mendatangkan potensi cuan sebesar Rp67 triliun disebut akan mendukung program kesejahteraan nelayan.  

Wacana tersebut sedikitnya meredam protes yang muncul dari berbagai kalangan masyarakat terkait kebijakan kontroversial ekspor pasir laut tersebut.  

Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, mengungkapkan, sedimentasi laut yang tidak dikelola dapat merusak ekosistem pesisir, termasuk padang lamun dan terumbu karang.  

Baca Juga: Resmi Naik 12 Persen! Gaji Pensiunan PNS 2024 Siap Cair Bulan Desember lewat PT Taspen: Cek Besaran Gajinya

Menurutnya, pembersihan sedimentasi laut dinilai menjadi langkah yang diperlukan, sekaligus membuka peluang pemanfaatannya untuk tujuan ekonomi.  

Sebagai perbandingan, beberapa negara seperti Australia telah lama melakukan ekspor sedimentasi laut untuk proyek reklamasi dan berhasil meningkatkan pendapatan negaranya.  

Oleh karenanya, pemerintah memperkirakan bahwa penjualan 1 miliar kubik sedimentasi laut dapat menghasilkan pendapatan hingga Rp67 triliun.  

Baca Juga: Jelang Pilkada, Bawaslu Minta Syarat Petugas Pengawas TPS Minimal Wajib Belajar 9 Tahun

Dana tersebut rencananya akan digunakan untuk meningkatkan nilai tukar nelayan (NTN), salah satu indikator kesejahteraan nelayan.  

Namun, NTN yang saat ini masih berada di bawah rata-rata upah minimum regional, menunjukkan sebuah tantangan luar biasa yang harus diatasi pemerintah.  

Kebijakan ini menuai sempat menuai kritik tajam, salah satunya dari Anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan, yang menilai ekspor pasir laut dapat merusak ekosistem secara signifikan.  

Baca Juga: Bidik PNBP dari Ekspor Sedimentasi Laut, DPR Sebut Indonesia Bisa Bercuan Tapi Ragu Target Bisa Tercapai

Melansir laman emedia.go.id, Daniel mengungkapkan, kerusakan ekosistem akan berdampak pada penurunan hasil tangkapan ikan, yang menjadi sumber penghidupan utama nelayan.  

Kritikus lain juga menyebutkan bahwa penambangan pasir laut dapat berpotensi memperburuk krisis iklim dan lebih jauhnya merugikan masyarakat pesisir.  

Selain itu, proses pengambilan kebijakan ini dinilai minim melibatkan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) serta masyarakat pesisir pantai sebagai pihak yang terdampak langsung.  

Baca Juga: Penting! Siapkan Satu Berkas Ini Agar Tak Disebut ‘Honorer Bodong’ di Seleksi PPPK 2024 Tahap 2

Beberapa aktivis lingkungan pun turut menyuarakan untuk menolak keras kebijakan ini, mengingat dampaknya yang berpotensi mengganggu keseimbangan ekologi.  

Salah satunya, melansir laman ugm.ac.id, pengamat Ekonomi dan Energi UGM, Fahmy Radhi, M.B. berpendapat pengerukan pasir laut memicu kerusakan lingkungan dan ekologi laut. 

Bahkan, menurutnya hal ini juga memicu tenggelamnya pulau yang tentunya akan membahayakan bagi rakyat di sekitar pesisir pantai dan borpotensi tidak bisa melaut lagi. 

Baca Juga: 20 Kata-Kata Ucapan Hari Guru Nasional 2024 yang Menyentuh Hati

Sebagai tanggapan, pemerintah menegaskan bahwa yang diekspor bukan hanya pasir, tetapi juga material sedimentasi lain yang justru perlu dibersihkan untuk menjaga lingkungan.  

Meskipun demikian, kritik masyarakat tak hanya soal lingkungan, mereka juga menyoroti bahwa keuntungan ekonomi tidak sebanding dengan biaya operasional ekspor. 

Beberapa pihak juga mempertanyakan kebijakan ini, khususnya terkait alasan di balik dihapusnya larangan ekspor pasir laut yang telah berlaku selama 20 tahun.  

Tentunya, transparansi dalam proses pengambilan keputusan dinilai krusial untuk memastikan kepercayaan publik terhadap kebijakan ini.  

Namun meskipun demikian, pemerintah mengklaim bahwa kebijakan ini telah melalui kajian mendalam dengan pendekatan pengelolaan sedimentasi berkelanjutan.  

Pemerintah berjanji akan mengalokasikan hasil pendapatan untuk program kesejahteraan nelayan, walaupun skeptisisme publik terhadap implementasinya masih tinggi. *** (Gita Yulia) 

Rekomendasi