Tak Tayang di TV, Wawancara Soeharto 1967: Kita Agak Kurang Waspada dalam Politik, Nyatanya PKI..

inNalar.com – Sebuah sesi wawancara dengan Soeharto yang tak banyak disorot media pada masanya telah mengungkap beberapa fakta menarik bagi sejarah dunia politik di Indonesia.

Pada wawancara eksklusif tersebut, Soeharto mengungkap bahwa pemerintahan politik di Indonesia telah goyah akibat penghianatan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Lebih lanjut, Soeharto membeberkan bahwa politik pemerintahan Indonesia mengalami dua kali peristiwa berdarah yang disebabkan oleh pemberontakan PKI.

Baca Juga: Dikelilingi Lembah dan Pegunungan, Desa di Trenggalek Jawa Timur Ini Bak Surga Tersembunyi! Ada yang Tahu?

Pemberontakan PKI diketahui terjadi sebelum dan sesudah hari kemerdekaan Indonesia. Peristiwa pertama terjadi pada 1948 dan yang kedua terjadi pada 1965.

Pemerintah Indonesia menilai gerakan sosial tersebut dinilai radikal sehingga eksistensi afiliasi pemikiran Komunisme atau Marxisme dalam pendirian partai politik pun akhirnya dilarang.

Wawancara Soeharto yang diketahui terjadi pada 1967 tersebut seolah kembali mengingatkan kita bahwa dahulu benteng politik di Indonesia dinilai masih lemah.

Baca Juga: Berkapasitas 192 Orang, Intip Kereta Api Asal Aceh yang Mempunyai Jalur Terpendek di Indonesia

Buktinya telah terjadi peristiwa pemberontakan PKI yang membuat situasi Indonesia mencekam sebanya dua kali.

Keputusan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 terkait pelarangan partai politik yang mengarah pada ajaran komunisme pada 1966 ini cukup terlambat.

Menurut Soeharto, dalam wawancara tersebut, mengungkap bahwa nyatanya politik di Indonesia goyah akibat peristiwa pemberontakan PKI tidak hanya sekali saja.

Baca Juga: Langsung di Depan Soeharto, Pertanyaan Anak SD Sulteng Bikin Merinding: Kenapa Presiden RI Cuman Satu?

Sebagai informasi, dilansir dari buku ‘Komunisme di Indonesia’ jilid 2 yang dipublikasikan oleh Pusjarah TNI mengungkap bahwa peristiwa berdarah yang didalangi oleh PKI terjadi pertama kali pada 18 September 1948.

Kemudian berulang kembali pada 30 September 1965. Kejadian berulang inilah yang menurut Soeharto ketahanan nasional masih lemah pada saat itu.

“Tadinya memang kita agak kurang mempunyai kewaspadaan di dalam politik,” ungkapnya.

Maksudnya adalah pengamanan politik Indonesia dinilai sangat lemah, karena sempat mempercayai gerakan komunis ini setelah sebelumnya melakukan pemberontakan di tahun 1948.

“Tapi nyatanya adalah tidak demikian,” ungkap Soeharto dalam wawancara tersebut.

Pada sesi wawancara yang diketahui merupakan arsip 1967, menyiratkan bahwa berulangnya peristiwa pemberontakan PKI seolah menjadi kelemahan politik di masa pemerintahan Soekarno.

Terlepas dari adanya ‘kebetulan’ bahwa Soeharto memiliki kedekatan dengan tokoh-tokoh yang disebut sebagai pelaku Gerakan 30 September 1965 sebagaimana diungkapkan oleh A. Yogaswara dalam bukunya.

Bagaimana pun hal ini menjadi pintu karir dirinya hingga menjulang menjadi Presiden yang menggantikan Soekarno melalui legitimasi Surat 11 Maret (Supersemar) nya.

Soeharto seolah muncul di momen yang sangat tepat dalam peristiwa berdarah di tahun 1965 ini.

Banyak pihak yang mencurigai keterlibatan dirinya dalam peristiwa kelam, tetapi belum ada fakta yang benar-benar membuktikan secara tegas terkait kelebihannya.

Sebuah pertanyaan sederhana yang dilontarkan oleh W.F. Wherteim, seorang Sosiolog Belanda kelahiran Rusia yang membuat sebuah pertanyaan detektif yang sederhana.

Yaitu, siapakah yang akan diuntungkan dari kejahatan (G30 SPKI) yang terjadi?

Pertanyaan serupa juga menjadi tanda tanya besar bagi David Johnson, Direktur Pusat Informasi Kementerian Pertahanan dan Keamanan Amerika Serikat (AS).

Adapun jawaban dari keduanya mengarah kepada Soeharto. Pasalnya, peristiwa ini justru membuka jalan kekuasaan dirinya di Indonesia.***

 

Rekomendasi