Sudah Ada Sejak Zaman Purba, Ternyata Agama Pertama Sebelum Hindu-Budha di Pulau Jawa Bukan Kejawen, Tapi…

inNalar.com – Dahulu masyarakat pulau Jawa berkulit hitam menganut agama yang diyakini dari leluhur sejak jaman purba.

Agama tersebut diyakini sudah ada sejak zaman batu Paleolitikum.

Agama ini merupakan agama tertua dan pertama di pulau jawa, bukan Hindu atau Budha.

Baca Juga: Tradisi di Indramayu, Jawa Barat Ini Padukan Nilai Budaya dan Agama, Tampilkan Kesenian Hingga Berkunjung ke..

Mungkin sebagian juga berpikir agama Kejawen yang pertama ada di pulau Jawa.

Agama ini mirip dengan dengan konsep Islam yaitu menyakini bahwa Tuhan itu satu atau tunggal.

Agama itu disebut dengan kapitayan, yakni agama kuno yang dianut sebagian masyarakat pada zaman dahulu.

Baca Juga: Bukan Asal Indonesia, Tradisi Unik Bakar Wangkang di Kalimantan Barat ini, Benarkah Punya Etnis Tionghoa?

Masyarakat biasa menyebutnya dengan agama asli Jawa, agama monoteis Jawa, atau agama asli Jawa.

Kapitayan bersifat monoteis atau percaya hanya dengan Tuhan saja itu yang menjadikan kapitayan berbeda dengan kejawen dan agama Jawa lainnya.

Secara etimologi kata kapitayan berasal dari bahasa Jawa kuno yang memiliki kata dasar “Taya” yang artinya tak terlihat atau tak terbayangkan.

Baca Juga: Jadi Simbol Toleransi Umat Beragama, di Bali Terdapat 5 Rumah Ibadah dari Setiap Agama Letaknya Berdampingan

Dalam bahasa sunda, kata “Taya” memiliki arti tidak ada atau tiada dalam bahasa Sundanya teu aya (gak ada).

Jika diartikan secara mendalam, Taya berarti sesuatu yang tidak dapat dipikirkan atau dibayangkan atau tidak dapat digapai dengan panca indera duniawi manusia.

Orang-orang yang menganut agama kapitayan menyebut tuhan mereka dengan sebutan Sahyang Taya.

Kapitayan sering dipandang bahwa penganutnya adalah penyembah berhala, atau penyembah benda mati.

Padahal benda yang dimaksud adalah media yang digunakan untuk menunjukkan keberadaan Sahyang Taya.

Seperti umat Islam yang beribadah menghadap kiblat yaitu Ka’bah .

Namun bukan Ka’bahnya yang disembah melainkan hanya sebagai media yang bisa dilihat untuk lebih menghayati dalam menyembah Sahyang Taya.

Dikutip inNalar.com dari akun YouTube NU Online, yang dijelaskan oleh KH Agus Sunyoto bahwa orang-orang kapitayan juga mengenal istilah sembahyang.

Baca Juga: Diliput Netflix, Kenali Tradisi Unik Ma’Nene di Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan, Menjemur Mayat dari…

Gerakan sembahyang dalam agama kapitayan ini mirip dengan gerakan sholat dalam islam.

Ada 4 gerakan dalam sembahyang kapitayan yaitu tulajeg, tungkul, tondem dan tulumpuk.

Tulajeg berasal dari bahasa Kawi yang artinya berdiri tegak dengan sikap swadikap (bersedekap) swa itu aku dikep artinya mendekap.

Berdiri dengan menghadap ke suwung, kalo tidak di depan goa atau sanggar.

Sanggar itu bangunan segi empat atapnya tumpang 3 dan bagian tengahnya terdapat lubang kosong, pada masa dakwah Walisongo disebut dengan langgar.

Gerakan kedua yaitu tungkul memandang ke tanah sambil menahan lutut dalam Islam seperti gerakan ruku’.

Setelah itu gerakan tondem yaitu sujud seperti bayi yang masih dalam kandungan ibunya.

Yang terakhir gerakan tulumpuk yaitu duduk diatas kedua tumit kaki dalam Islam seperti gerakan duduk diantara dua sujud (iftirasy).

Penganut kapitayan juga punya ibadah yang bernama pasabrata atau upawasa.

Ibadah yang dilakukan dengan tidak makan dan minum dari pagi sampai malam.

Dalam kapitayan juga mengenal pasa dina pitu atau puasa pada hari kedua dan kelima.

Pada akhirnya para sunan mengamati dan menyimpulkan bahwa poso dina pitu sama dengan puasa senin kamis.

Tradisi ajaran kapitayan dan agama Islam memiliki banyak kemiripan.

Ziarah (Sidayatra) juga merupakan ajaran sejak zaman kapitayan.

Dalam ajaran kapitayan juga ada pembagian pangiwa (kiri) tentang hal-hal yang tidak baik dan panengen (kanan) untuk hal-hal yang baik.

Seperti ketika akan masuk ke kamar mandi kita dianjurkan menggunakan kaki kiri tidak boleh kaki kanan.

Sejak jaman Majapahit jika ada yang memberikan sesuatu menggunakan tangan kiri bisa langsung dibunuh karena dianggap penghinaan.

Tradisi tersebut diamati oleh para Walisongo terutama Sunan Bonang.

Sunan Bonang pernah memberikan argumen bahwa “orang-orang kapitayan adalah muslim hanya saja belum membaca Syahadat dan belum khitan”.

Itu yang akhirnya menjadi tugas para Walisongo untuk membantu mensyahadatkan dan mengajak untuk khitan lalu mengajarkan Al-Qur’an.

Baca Juga: 15 KM dari Serang, Vihara Tertua di Banten Ini Dibangun di Abad 16 oleh Sunan Gunung Jati

Menurut beberapa ahli, Islam masuk ke pulau Jawa sekitar abad ke-11 melalui proses perdagangan dan pelayaran, Islam juga berkembang melalui proses pernikahan.

Ketika bulan maulid, Sunan Bonang mengadakan upacara grebeg maulid.

Dengan membuat tumpeng yang merupakan simbol kapitayan bukan dari agama Hindu.

Dari acara grebeg maulid Sunan Bonang mengajak para orang-orang untuk membaca kalimat syahadat.

Hingga pada akhirnya ayah dari Sunan Bonang, Sunan ngudung membuat tradisi jaranan mengumpulkan orang-orang di lapangan.

Dari acara tersebut juga untuk mengajak membaca kalimat syahadat, itulah yang membuat Islam berkembang pesat di pulau jawa.

Tradisi yang ditinggalkan Sunan Bonang yang masih eksis hingga sekarang yaitu slametan.

Slametan diambil tradisi momolimo/panca makara, kemudian Sunan Bonang duduk bersama membuat lingkaran dengan makanan dan minuman di tengahnya.

Semua masyarakat juga melantunkan doa-doa islam, disebut slametan karena dalam doa yang dilantunkan mengandung makna meminta keselamatan.

Identitas masyarakat jawa terkenal dengan budaya slametan.

Itulah proses penyebaran Islam oleh Walisongo yang tidak bisa dirubah sampe sekarang.***

Rekomendasi