Storytelling Bisa Jadi Obat Stres Murah Buat Mahasiswa yang Sedang Mengerjakan Skripsi, Benarkah?

inNalar.com – Mari kita bicara tentang skripsi—monster akademik yang bisa membuat mahasiswa tingkat akhir merasakan campuran stres, kecemasan, dan keinginan untuk menghilang ke dimensi lain.

Skripsi bukan sekadar tugas akhir, melainkan pertarungan epik antara mahasiswa dan revisi tanpa akhir dari dosen pembimbing. Salah jawab sedikit? revisi, kutipan kurang akurat? revisi. Napas terlalu kencang saat bimbingan? Mungkin revisi juga.

Tekanan ini sering membuat mahasiswa terjebak dalam lingkaran setan; stres dan overthinking. Banyak yang mulai mempertanyakan hidup, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong, atau tiba-tiba merasa ingin menjadi petani alpukat saja.

Baca Juga: 69,75% Pemuda Indonesia Masih Jomblo, Kaum Milenial dan Gen Z di Kota Ini Jadi Penyumbang Utama

Nah, di sinilah storytelling atau seni bercerita hadir sebagai jurus penyelamat. Penasaran? Simak terus artikel ini, ya!

Bercerita bukan cuma urusan dongeng sebelum tidur atau gombalan basi di chat tengah malam. Tanpa sadar, kita semua adalah pendongeng.

Tapi ternyata, storytelling bukan sekadar alat untuk menggalang simpati atau mencari dukungan moral di media sosial. Ilmu psikologi menyebutkan bahwa bercerita bisa menyentuh emosi, memperbaiki kesehatan mental, bahkan meningkatkan fungsi otak.

Baca Juga: Gokil! SMA di Semarang Ini Jadi Sekolah Tertua di Indonesia dan Terluas se-Asia Tenggara

Annie Brewster, dokter spesialis di Harvard Medical School, bahkan mendirikan organisasi untuk membantu pasien trauma dengan terapi ini. Intinya? Cerita bukan cuma hiburan, tapi juga bisa menyelamatkan akal sehat, inilah beberapa manfaatnya:

1. Mengasah Kemampuan Mendengarkan & Imajinasi

Mendengarkan cerita dengan saksama adalah latihan mental terbaik yang bisa kamu dapatkan secara gratis tanpa perlu langganan aplikasi mindfulness atau jadi biksu di gunung.

Baca Juga: Chapter 4 Do You Like Swimming, Kunci Jawaban Bahasa Inggris Kelas 3 SD Kurikulum Merdeka: Hlm. 53-56

Saat kamu benar-benar fokus pada cerita, otakmu dipaksa untuk bekerja, seperti angkat beban untuk pikiran, karena ini bisa menjadi alat yang menyegarkan kembali imajinasi yang sudah berdebu.

2. Meningkatkan Empati & Memori

Pernah nonton film sampai nangis sesenggukan karena karakter favoritmu mati mengenaskan? Selamat, itu tandanya otakmu masih bisa merasakan emosi, berkat hormon oksitosin yang dilepaskan saat kita terhubung dengan cerita.

Tapi manfaatnya tidak berhenti di situ, karena metode ini juga meningkatkan daya ingat. Menurut penelitian dari Stanford, informasi yang disajikan dalam bentuk cerita bisa diingat 22 kali lebih baik daripada sekadar fakta yang ditempel di PowerPoint ala dosen yang hobi membaca slide.

Jadi, kalau selama ini kamu susah mengingat teori dalam skripsimu, mungkin sudah waktunya menyusun ulang penelitianmu dalam bentuk cerita heroik—dimana kamu adalah protagonis yang sedang berjuang melawan revisi tanpa akhir.

Baca Juga: Chapter 3 I Have Fried Chicken for Breakfast, Kunci Jawaban Bahasa Inggris Kelas 3 SD Kurikulum Merdeka: Hlm. 26-39

3. Mengubah Mood & Mengurangi Stres

Stres skripsi itu seperti penyakit menular, begitu satu orang terjangkit, yang lain ikut tertular. Tapi sebelum kamu resmi menyerah dan mengajukan surat pengunduran diri dari dunia akademik, cobalah untuk bercerita.

Bercerita ternyata terbukti bisa menurunkan kadar kortisol alias hormon stres, sekaligus meningkatkan oksitosin yang bikin kamu merasa lebih tenang, lho!

Baca Juga: Berdiri Sejak Sebelum Kemerdekaan, Inilah 7 Sekolah Tertua di Indonesia

Jadi, daripada mengandalkan kopi tiga gelas sehari dan sesi overthinking di malam hari, kenapa tidak mencoba berbagi kisah tragis revisimu ke teman sejawatmu? Siapa tahu mereka juga punya kisah serupa yang bahkan lebih parah—setidaknya kamu bisa merasa sedikit lebih beruntung.

4. Membantu Orang dengan Demensia & Trauma

Bukan cuma bisa menyelamatkan mahasiswa tingkat akhir yang setengah waras, tapi metode ini juga bisa menjadi terapi bagi pasien demensia, lho! Banyak penelitian membuktikan bahwa terapi bercerita bisa membantu mereka mengingat kenangan yang hampir hilang.

Jadi, kalau orang yang sudah lupa nama anaknya sendiri saja bisa terbantu, apa kabar kita yang cuma lupa menyimpan file skripsi revisi ke-17, kan? Mungkin bercerita bisa jadi metode penyembuhan dari lupa referensi, lupa login akun jurnal, atau lupa kalau deadline sidang sudah dekat.

5. Membangun Resiliensi dari Kegagalan

Skripsi sering kali terasa seperti plot twist yang tidak ada habisnya. Kamu pikir semua sudah beres, tapi tiba-tiba dosen pembimbing melempar revisi tambahan yang membuatmu ingin pensiun dini dari dunia akademik.

Tapi inilah kekuatan bercerita—dengan merangkai ulang narasi hidup, kita bisa melihat kegagalan bukan sebagai tanda kehancuran, tapi sebagai momen epik yang memperkuat karakter kita.

Bayangkan kamu adalah tokoh utama dalam film perjuangan, yang akhirnya bisa menaklukkan dosen pembimbing dengan argumen yang sempurna. Mungkin butuh banyak percobaan, banyak tangisan dalam diam, dan banyak kopi. Tapi pada akhirnya, cerita ini akan berakhir dengan kemenangan, kan?

Jadi, daripada terus-menerus terjebak dalam keputusasaan skripsi, kenapa tidak mulai mengubah sudut pandangmu? Ubah perjuangan ini menjadi kisah yang layak diceritakan—kisah seorang mahasiswa yang hampir gila, tapi tetap bertahan hingga akhir.

Karena dalam hidup, kita semua adalah pendongeng. Dan cerita terbaik selalu lahir dari perjuangan yang paling menyakitkan. Bercerita bukan cuma cara untuk menghibur orang lain, tapi juga untuk menyelamatkan diri sendiri dari kewarasan yang semakin menipis.

Mengubah perspektif melalui storytelling bisa membuat kita melihat dunia dengan lebih jernih. Jadi, daripada membiarkan skripsi menguasai hidup, kenapa tidak mencoba bercerita tentang perjalanan absurd ini?

Karena pada akhirnya, hidup ini hanyalah rangkaian cerita, sementara kamu adalah penulisnya. Jadi, tulislah narasi yang bisa membuatmu tertawa ketika membacanya di masa depan, alih-alih ingin menangis di pojokan. ***