

inNalar.com – Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya di Istana Merdeka Jakarta, Soeharto digantikan oleh wakilnya yakni BJ Habibie.
Saat pernyataan kemunduran Soeharto tersebut, BJ Habibie selaku wakil presiden Soeharto yang saat itu juga diambil sumpah sebagai presiden.
Diketahui jika pada momen itulah kali terakhir Soeharto dengan BJ Habibie, meski begitu BJ Habibie sempat berbicara melalui telepon pada tanggal 9 Juli 1998.
Pembicaraan melalui telepon itu dilakukan BJ Habibie sehari setelah Soeharto ulang tahun yang ke 77 tahun.
Dalam pembicaraan telepon itu BJ Habibie, selain mengucapkan selamat hari jadi kepada Soeharto, dirinya juga minta bertemu dengan Soeharto namun ditolak.
Soeharto mengatakan jika tidak menguntungkan bagi keadaan sekarang kalau dirinya bertemu dengan BJ Habibie.
Soeharto pun mengucap melalui sambungan telepon tersebut, untuk BJ Habibie dapat melaksanakan tugas dengan baik karena tugasnya sudah selesai sampai pada saat itu dan saya sudah tua.
Sejak itu Soeharto tak pernah mau bertemu dengan BJ Habibie, sampai pada selesainya tugas BJ Habibie menjadi Presiden.
BJ Habibie pun mengatakan jika dirinya selalu berusaha dalam berbagai jalur untuk bersilaturahmi dengan Pak Harto baik melalui telepon ataupun bertemu secara langsung.
Ungkapannya ini tercantum dalam bukunya yang berjudul Detik-detik yang Menentukan.
BJ Habibie menilai jika sikap dari Soeharto tersebut sangatlah misterius, dan dirinya pun yakin jika Soeharto memiliki alasannya tersendiri dan beranggapan agar BJ Habibie tidak perlu mengetahuinya
BJ Habibie pun mengungkap jika dirinya ikhlas terhadap sikap Soeharto kepada dirinya saat itu, dan ia percaya jika sejarah lah yang akan mengungkap sikap misterius ini.
Dilansir inNalar.com dari Youtube Semangat Cerita, pada tahun 2010, Probosutedjo, adik dari mantan Presiden Soeharto menerbitkan memoarnya yang berjudul Saya dan Mas Harto.
Isi dalam buku tersebutlah dirinya nya mengungkap alasan Soeharto tidak mau bertemu dengan BJ Habibie.
Hal ini berkaitan dengan kekecewaan yang dirasakan Soeharto kepada BJ Habibie
Kekecewaan pertama adalah ada di malam 19 mei 1998 Habibie bertemu Soeharto membicarakan perkembangan situasi yang sedang terjadi.
BJ Habibie dalam pembicaraan tersebut mengatakan jika dirinya tidak sanggup untuk menjadi Presiden jika Soeharto mundur.
Namun, setelah 14 menteri mengundurkan diri pada malam 20 Mei, dirinya mengatakan jika dirinya sanggup menggantikan Soeharto.
Menurut Probosutedjo, tindakan BJ Habibie ini sangat membuat Soeharto Terkejut dan menjadi sangat kecewa, di hari itu juga Soeharto memutuskan untuk tidak menegur atau berbicara dengan BJ Habibie.
Selain itu kekecewaan kedua Soeharto kepada BJ Habibie yakni terkait keputusan BJ Habibie memberikan Timor-Timur yang akhirnya lepas dari Indonesia.
Probosutedjo menyatakan jika adanya sikap BJ Habibie ini membuat Soeharto sangat terkejut dan sangat marah.
Soeharto mengingat pengorbanan Indonesia yang sangat besar untuk Timor-Timur, keputusan BJ Habibie kepada Timor-Timur semakin memperlebar jarak antara Soeharto dengan BJ Habibie.
Adapun kekecewaan ketiga, yakni BJ Habibie menyetujui pengusutan kasus korupsi yang dilakukan Soeharto selama berkuasa.
Perintah pengusutan Soeharto ini ditetapkan pada penetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Soeharto menganggap jika tindakan itu merupakan sebagai penghinaan besar, dengan terus berlangsungnya pengadilan terhadap Soeharto yang terus dilakukan dan Habibie membiarkan hal itu terjadi.
Setelah adanya pengusutan kasus korupsi tersebut Soeharto diketahui terkena stroke dan dirawat di Rumah Sakit pertamina.
BJ Habibie saat itu berniat ingin menjenguk Soeharto namun tim dokter kepresidenan melarang hal tersebut.
Menurut dokter kepresidenan terdapat dua kemungkinan jika BJ Habibie menjenguk Soeharto yakni, Soeharto akan senang atau akan marah, dan kedua kemungkinan itu akan mengakibatkan gejala emosi yang dapat pendarahan otak dan berakibat fatal.
Setelah menerima laporan dari kejaksaan agung dan tim dokter kepresidenan, BJ Habibie mengajukan agar kasus Soeharto ditutup dan tidak dibuka lagi.
Permintnan BJ Habibie inipun di diskusikan secara luas, profesional dna mendalam, dan mendapatkan hasil jika masalah Soeharto diselesaikan dengan mengeluarkan surat perintah perhentian penyelidikan atau SPPP.
Sejak malam 19 Mei 1998 Sampai meninggalnya Soeharto pada 27 Januari tahun 2008 Sang Jenderal Soeharto tidak lagi pernah bertemu dengan BJ Habibie.***