Soal Prabowo–Gibran 2 Periode, Gen Z Mau Digoyang Lagi?

Prabowo-Gibran diisukan 2 periode.

Ruang politik nasional kembali bergetar. Isu perpecahan antara Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka muncul ke permukaan, menyulut spekulasi di tengah publik. Rumor ini berbarengan dengan arahan tegas Presiden Joko Widodo yang meminta relawan mengawal duet Prabowo–Gibran bukan hanya satu periode, melainkan hingga dua periode.

Narasi stabilitas politik dikedepankan. Jokowi menekankan duet ini harus “finish” hingga 2045 demi visi Indonesia Emas. Namun, di sisi lain, pengamat melihat langkah tersebut lebih mencerminkan agenda politik keluarga, khususnya untuk mengamankan posisi politik putra sulungnya, Gibran.

Sementara itu, publik—terutama Gen Z yang jumlahnya hampir 60 persen pemilih—masih dihadapkan pada pola komunikasi politik yang kerap viral, dari joget “gemoy” hingga kebijakan yang diumumkan, ditolak publik, lalu dicabut. Pertanyaannya, apakah generasi muda akan kembali “digoyang” oleh gaya politik lama dengan wajah baru?

Isu Perpecahan Prabowo–Gibran, Bom Waktu Politik?

Isu perpecahan Prabowo–Gibran berawal dari percakapan di kalangan relawan Jokowi sendiri. Kekhawatiran ini bukan sekadar rumor, melainkan dianggap sebagai potensi nyata yang bisa mengguncang stabilitas politik.

David Pajung, Wakil Ketua Umum Bara JP, mengingatkan bahaya jika duet presiden–wakil presiden itu dipecah di tengah jalan.

“Ketika (Prabowo–Gibran) dipecah di tengah jalan, itu akan menimbulkan gejolak-gejolak bom waktu politik yang membuat energi bangsa ini hilang, capek mengurusi dinamika politik yang lepas dari kontrol,” kata David.

Ia menambahkan, perpecahan tersebut berpotensi menciptakan “guncangan politik yang sangat dahsyat” dan mengancam stabilitas nasional.

Arahan Jokowi: Kawal Prabowo–Gibran Dua Periode

Di tengah isu perpecahan, Jokowi justru memberikan arahan berbeda: mengawal duet Prabowo–Gibran hingga dua periode.

Arahan ini disampaikan secara langsung pada Jumat (19/9/2025) di kediamannya, Sumber, Solo, Jawa Tengah. Jokowi menegaskan bahwa pesan tersebut bukan hal baru, melainkan sudah ia sampaikan sejak awal pemerintahan dimulai.

“Sejak awal saya sampaikan seluruh relawan untuk itu. Ya memang sejak awal saya perintahkan seperti itu, untuk mendukung pemerintahan Presiden Prabowo–Gibran dua periode,” ucap Jokowi.

David Pajung menilai arahan itu sebagai upaya mencegah gejolak politik. “Sehingga, maksud baik dari Pak Jokowi adalah tolong dibantu program-program pemerintah Prabowo–Gibran sampai selesainya,” katanya.

Bagi Jokowi, dukungan penuh ini tak lepas dari visi Indonesia Emas 2045. Ia menyebut duet “2-in-1” ini harus tuntas hingga garis akhir:

“Duet 2-in-1 ini ‘enggak bisa enggak’, ini harus finish untuk mencapai Indonesia emas 2045.”

Reshuffle, Orang-Orang Jokowi Dicopot

Konteks politik semakin memanas setelah sejumlah tokoh dekat Jokowi dicopot dari kabinet Prabowo.

  • Immanuel Ebenezer (Noel), mantan Wamenaker RI, ditangkap KPK terkait dugaan pemerasan.
  • Budi Arie Setiadi, Ketua Umum Projo, dicopot dari Menteri Koperasi pada reshuffle 8 September 2025.
  • Abdul Kadir Karding, elite TKN 2019, dicopot dari Menteri P2MI di reshuffle yang sama.
  • Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), dicopot pada reshuffle 17 September 2025.

Tak lama setelah pencopotan ini, Jokowi menegaskan kembali dukungannya untuk Prabowo–Gibran dua periode. Langkah itu dipandang sebagai sinyal bahwa hubungan Jokowi dan Prabowo tetap terjaga, sekaligus membantah spekulasi renggangnya relasi politik keduanya.

Stabilitas Politik atau Dinasti Politik?

David Pajung menegaskan dukungan terhadap dua periode Prabowo–Gibran adalah cara menjaga stabilitas nasional.

“Ya, kalau dua periode ini kan kita lihat dinamika ke depan. Bahwa kalau memungkinkan dua periode diterima oleh rakyat dan direspons positif oleh masyarakat, maka enggak ada pilihan lain selain mendukung dua periode Prabowo–Gibran,” ujarnya.

Namun, pengamat politik Yunarto Wijaya punya pandangan berbeda. Ia menyebut sikap Jokowi justru menyedihkan sebagai mantan presiden.

“Terus terang saya agak kaget. Apalagi, kalau kita dengarkan kalimatnya, itu bisa bermakna ganda. Yang disebutkan oleh Jokowi bukan mendukung pemerintahan Prabowo, tapi pemerintahan Prabowo–Gibran dua periode,” kata Yunarto.

Menurutnya, Jokowi terlihat lebih mengutamakan kepentingan politik anaknya ketimbang isu kenegaraan. Ia membandingkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri yang, setelah lengser, lebih banyak bicara isu global.

“Pak SBY itu diundang ke luar negeri, berbicara mengenai climate change, disrupsi AI. Ibu Mega misalnya, diundang di Vatikan berbicara tentang keberagaman,” ucap Yunarto.

Baginya, Jokowi seharusnya sudah berada di level negarawan, bukan lagi larut dalam urusan elektoral domestik. Ia bahkan mengingatkan relawan agar tidak sekadar menjadi mesin politik keluarga:

“Mulailah sebuah budaya untuk memberikan kontribusi sesuai dengan apa yang bisa dipikirkan bersama, melalui riset, melalui advokasi. Jangan terus-menerus menempatkan diri menjadi domba-domba yang mau diperintah apa pun oleh junjungannya.”

Pola “Viral-Based Policy”: Umumkan → Viral → Batalkan

Stabilitas politik yang digadang-gadang justru diuji oleh pola kebijakan pemerintah sendiri. Dalam satu tahun pertama, pemerintahan Prabowo–Gibran berkali-kali terjebak dalam pola serupa: kebijakan diumumkan, ditolak publik lewat media sosial, kemudian dibatalkan.

Contohnya:

  • Rumah Subsidi 18 m²: Menteri Perumahan Maruarar Sirait mengusulkan rumah minimalis, tapi menuai kritik dan akhirnya dicabut.
  • Tambang Nikel Raja Ampat: aksi Greenpeace viral, pemerintah mencabut 4 IUP.
  • Sengketa Pulau Aceh–Sumut: publik protes dengan tagar #PulauUntukAceh, pemerintah akhirnya koreksi.
  • Larangan penjualan LPG 3 kg: ditolak masyarakat, lalu dibatalkan.
  • Kenaikan PPN 12%: sempat diumumkan, tapi jelang berlaku dibatalkan setelah tagar #IndonesiaGelap viral.
  • Penundaan pengangkatan CPNS & PPPK: menuai protes, akhirnya direvisi.

Akademisi Nurul Jamila Hariani dari Universitas Airlangga/UCL menilai fenomena ini sebagai bukti lemahnya kapasitas kebijakan publik.

“Tidak ada riset. Tidak ada analytical process. Kebijakan publik viral menandakan pemerintah kita tidak belajar,” tegasnya.

Joko Susilo dari Nalar Institute/UGM juga menyebut kebijakan pemerintah lebih reaksioner ketimbang responsif.

“Kalau pemerintah mempraktikkan kebijakan berbasis bukti, langkah yang diambil tidak akan terburu-buru,” ujarnya.

Florida Andriana dari Think Policy menambahkan kritik soal lemahnya komunikasi kebijakan:

“Kalau perumusan masalah sudah baik, sudah berbasis bukti, risiko blunder komunikasi rendah. Semua pemangku kebijakan sudah terinformasi.”

Politik Gemoy

Selain kebijakan yang sering menuai kontroversi, citra politik pemerintahan ini juga banyak ditentukan oleh strategi komunikasi digital. Prabowo, yang dulu identik dengan sosok keras, mengubah pendekatannya menjadi lebih ramah, bahkan “gemoy”.

Joget gemoy muncul spontan, kata Prabowo, sebagai refleks dari kenangan masa kecil saat menonton wayang kulit di rumah kakeknya.

“Jadi mungkin di bawah sadar saya, setiap ada kabar gembira, ya begitu (joget),” ucap Prabowo dalam Dialog Terbuka Muhammadiyah, Surabaya, 24 November 2023.

Tim kampanye kemudian mengadopsi tren ini sebagai branding politik. Dedek Prayudi, Wakil Komandan TKN Fanta/PSI, menyebut strategi itu sebagai cara menyesuaikan diri dengan anak muda yang lelah dengan konflik politisi.

“Anak muda itu lebih senang dengan sesuatu yang menggunakan gaya bahasa mereka, gestur mereka. Tidak zamannya lagi yang Anda halangi kami tabrak. Bukan zamannya lagi,” kata Dedek.

Efektivitas dan Sentimen Negatif

Data Cakra Data menunjukkan Prabowo–Gibran berhasil menguasai percakapan digital pada 1–21 November 2023, dengan 1,2 juta percakapan. Analisis sentimen menunjukkan 36% positif, 38% netral, dan 26% negatif.

Sentimen negatif terutama terkait isu dinasti politik dan putusan MK yang meloloskan Gibran lewat syarat usia—putusan yang dipimpin paman Gibran, Anwar Usman.

M. Nurdiyansyah dari Cakra Data menekankan bahwa konten gemoy memang efektif mencuri perhatian, tetapi tim kampanye perlu menyiapkan narasi tandingan agar tidak hanya terlihat sebagai hiburan.

Gen Z: Rasional atau Tergoda Gaya?

Dengan hampir 60% pemilih berasal dari kalangan muda, dimensi Gen Z menjadi krusial. Mereka dikenal lebih rasional, cenderung menimbang program sebelum memilih.

Aditya Perdana dari Algoritma Research menegaskan bahwa gagasan tetap lebih penting dibanding sekadar gaya.

“Soal ketokohan dan figur masih diperhitungkan, tetapi program paling utama. Dengan demikian, setiap calon bisa melaksanakan tugas edukasi politik kepada publik. Jadi, pertarungannya menjadi adu narasi dan gagasan, bukan joget-joget atau lucu-lucuan,” katanya.

Politik gemoy memang membuat suasana lebih cair, namun risiko dianggap dangkal juga besar. Tanpa penguatan program dan visi nyata, pesona digital bisa terkikis oleh isu besar seperti dinasti politik dan integritas hukum.

Akhirnya, Gen Z Mau Digoyang Lagi?

Dari stabilitas politik yang dijanjikan Jokowi, reshuffle kabinet yang mengguncang, hingga pola kebijakan viral yang kerap berakhir mundur, publik terutama generasi muda menghadapi pilihan sulit.

Di satu sisi, Jokowi dan relawan mendorong dukungan penuh dua periode bagi Prabowo–Gibran dengan alasan stabilitas dan visi 2045. Di sisi lain, pengamat menilai langkah itu lebih sebagai agenda politik keluarga.

Citra politik gemoy berhasil mencuri perhatian, tapi kritik akademisi mengingatkan agar substansi program tidak dikorbankan. Gen Z, sebagai pemilih mayoritas, bisa jadi penentu apakah politik gaya ini bertahan atau justru runtuh oleh isu dinasti dan kebijakan reaktif.

Pertanyaan besarnya kini: apakah generasi muda akan kembali “digoyang” dengan simbol-simbol viral dan narasi stabilitas, atau memilih menuntut politik berbasis gagasan nyata?

Rekomendasi