Sempat Hiatus Gegara Sengketa Lahan, Bendungan Rp2,7 Triliun Ini Akhirnya Jadi Simbol Kemakmuran NTT

inNalar.com – Sebuah bendungan bernilai Rp2,7 triliun di Nusa Tenggara Timur (NTT) akhirnya rampung dan diresmikan presiden Jokowi pada 2024.

Proyek besar ini sempat tertunda akibat sengketa lahan yang memicu berbagai ketegangan. Khususnya dengan warga setempat. 

Kini, proyek yang terletak di Kabupaten Timor Tengah Selatan ini menjadi bendungan terbesar sekaligus simbol baru harapan bagi kemakmuran NTT. 

Baca Juga: Rasio Kredit Macet Melandai, Ini 3 Strategi Cantik BRI Jaga dan Tingkatkan Kualitas Aset

Dengan kapasitas air yang besar, waduk yang sering disebut ‘Bendungan Temef’ Ini diharapkan bisa memenuhi kebutuhan irigasi, air baku, dan mengatasi kekeringan di daerah tersebut. 

Keunggulan Waduk Temef

Dilansir InNalar.com dari laman resmi Sekretariat Kabinet, dengan total investasi Rp2,7 triliun, waduk ini memiliki kapasitas tampung air hingga 45 juta m³ dan luas genangan 298 hektare. 

Baca Juga: Gelombang Laut Capai 25 Meter! Selat Mematikan Dekat Amerika Selatan Ini Lahap 800 Kapal hingga 20 Ribu Nyawa

Dalam peresmiannya, Presiden Jokowi menekankan pentingnya air bagi kemakmuran NTT, untuk mendukung sektor pertanian dan lebih jauhnya untuk ketahanan pangan. 

Mengutip data dari YouTube PT Waskita Karya, perusahaan pengembang yang merampungkan proyek waduk besar ini. 

Menurutnya, bendungan ini dirancang untuk mengairi 4.500 hektare lahan pertanian, mencakup Daerah Irigasi Haekto seluas 1.575 hektare dan Daerah Irigasi Benanain seluas 2.925 hektare.

Baca Juga: Tak Hanya Mandalika, Sirkuit Standar Internasional Sedang Dibangun di Jawa Timur, Dananya Habis Rp34 Miliar!

Selain itu, dilansir dari Tender Indonesia, Temef  akan menyediakan air baku sebesar 0,13 m³ per detik, untuk Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara, dan Kabupaten Malaka.

Hambatan Pembangunan Akibat Sengketa Lahan

Dilansir dari berbagai sumber, pembangunan bendungan ini dimulai pada tahun 2017, namun sempat terhenti akibat sengketa lahan dengan warga setempat. 

Baca Juga: Berpotensi Bangkrutkan 2 Negara Asean? Ini Megaproyek Maritim Besutan Thailand-China Senilai USD 20 Miliar

Konflik tersebut melibatkan 159 warga pemilik lahan dari tiga desa, yaitu Oenino, Pene Utara, dan Konbaki. 

Warga menolak ganti rugi yang diberikan pemerintah dan mengklaim bahwa lahan tersebut merupakan hak milik mereka. 

Sengketa ini berujung pada pemblokiran lokasi oleh warga yang menuntut kejelasan terkait kompensasi. 

Baca Juga: Target Rampung Akhir 2024, Progres Pembangunan Jalan Feeder di Kawasan Inti IKN Capai Segini

Pada Agustus 2024, ketegangan kembali meningkat ketika warga memprotes pembayaran”biaya penghormatan” yang dianggap tidak sesuai dengan kerugian yang mereka alami. 

Harnefer Baun, koordinator warga, menyatakan bahwa kompensasi tersebut tidak mencerminkan nilai lahan yang dimiliki, sehingga warga bersikeras menuntut keadilan. 

Namun, untungnya pemerintah dapat mengatasinya dengan pembayaran ganti untung, yang bukan atas lahannya saja, tapi juga tanaman serta objek lain yang ada di dalamnya. *** (Gita Yulia) 

Rekomendasi