Sempat Digadang Proyek Termahal se-Dunia, Jembatan Rp225 Triliun di Banten ini Berujung Mangkrak


inNalar.com
– Jembatan Selat Sunda (JSS) adalah salah satu mega proyek ambisius yang bertujuan menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatra melalui jalur darat.

Namun, proyek yang digadang-gadang menjadi simbol kemajuan infrastruktur Indonesia ini justru terhenti di tengah jalan, meninggalkan berbagai pertanyaan.

Jembatan Selat Sunda dirancang membentang sepanjang 30 kilometer, menghubungkan Serang di Banten dengan Lampung di Sumatra.

Baca Juga: Dibangun di Pulau Buatan, Bandara Rp100 Triliun di Banten Ini Dirancang Arsitek Terkenal Dunia

Dengan lebar 60 meter, jembatan ini direncanakan memiliki dua jalur utama (2×3 lajur) untuk kendaraan roda empat dan satu jalur darurat (2×1 lajur).

Proyek ini dimulai pada tahun 2020 dan awalnya dijadwalkan selesai pada 2025. Namun, berbagai kendala seperti pembengkakan biaya, studi teknologi yang belum tuntas, serta minimnya komitmen pendanaan membuat proyek ini berhenti di tengah jalan.

Diperkirakan menelan biaya hingga Rp225 triliun atau setara dengan USD 15,5 miliar, Jembatan Selat Sunda disebut-sebut sebagai jembatan termahal di dunia, sebagaimana dilansir dari Financial Times pada Minggu, 1 Desember 2024.

Baca Juga: Dulu Ditolak Bank Utang USD 28 Juta, Kini Perusahaan Tambang Kalsel Ini Melejit Jadi Raksasa Batu Bara RI

Dana sebesar ini direncanakan berasal dari pemerintah, investor lokal, dan asing. Namun, kurangnya investor yang bersedia mengambil risiko besar menjadi salah satu hambatan utama.

Jika selesai, jembatan ini diproyeksikan membawa dampak besar bagi perekonomian. Waktu tempuh antara Pulau Jawa dan Sumatra yang biasanya mencapai 24 jam melalui kapal feri diperkirakan akan berkurang menjadi hanya 30 menit.

Hal ini diyakini mampu meningkatkan mobilitas, konektivitas, dan pariwisata di kedua wilayah.

Baca Juga: Unik, Penduduk Kampung di Sulawesi Utara Ini Rutin Belanja ke Luar Negeri Tanpa Pakai Uang

Selain itu, Jembatan Selat Sunda juga direncanakan sebagai jembatan multifungsi dengan tambahan rel kereta api untuk angkutan barang dan penumpang.

Infrastruktur ini diharapkan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi di wilayah barat Indonesia.

Gagasan pembangunan jembatan penghubung Jawa-Sumatra sudah ada sejak era 1960-an. Profesor Sedyatmo dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pertama kali memperkenalkan ide “Tri Nusa Bimasakti,” yang bertujuan menghubungkan Pulau Jawa, Sumatra, dan Bali.

Pada 1965, Presiden Soekarno memerintahkan ITB untuk menguji desain awal berupa terowongan bawah laut.

Akan tetapi, rencana tersebut terbengkalai hingga era Presiden Soeharto, yang melibatkan Prof. B.J. Habibie pada 1997 untuk mengembangkan desain baru.

Hasil kajian di era tersebut menyimpulkan bahwa jembatan lebih layak dibandingkan terowongan bawah laut.

Salah satu tantangan terbesar dalam proyek ini adalah teknologi konstruksi. Pemerintah Indonesia sempat mempertimbangkan teknologi yang digunakan pada Jembatan Akashi Kaikyo di Jepang dan Jembatan Messina di Italia sebagai referensi.

Namun, hingga kini belum ada keputusan pasti mengenai teknologi yang akan digunakan.

Pendanaan juga menjadi batu sandungan utama. Meskipun pemerintah membuka peluang bagi investor asing, risiko tinggi dan biaya fantastis membuat banyak pihak enggan berkomitmen.

Mangkraknya Jembatan Selat Sunda memunculkan spekulasi tentang masa depan proyek ini. Meski manfaatnya besar, biaya yang sangat tinggi dan tantangan teknis membuat banyak pihak meragukan realisasi proyek ini.

Namun, jika dikelola dengan baik, proyek ini berpotensi menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Apakah Indonesia akan berhasil mewujudkan mega proyek ini, ataukah Jembatan Selat Sunda hanya akan menjadi “proyek mimpi”?

Rekomendasi