

inNalar.com – Sungai Nil dalam sejarahnya merupakan sungai terpanjang di dunia yang mampu membelah 11 negara di Benua Afrika, Afrika Utara dan Timur.
Sebagian besar negara yang dilewati sungai ini akan memanfaatkan sumber daya yang bisa diekploritasi seperti energi baru terbarukan.
Ethiopia adalah salah satu negara yang memanfaatkan sumber energi yang dihasilkan dari arus Sungai Nil.
Pembuatan bendungan dan PLTA ini difungsikan untuk memenuhi kebutuhan listrik negara, karena masih banyak penduduk di negara tersebut belum merasakan listrik.
Kebanyakan warga yang rumahnya belum terjamah oleh aliran listrik mereka menggunakan penerangan alami dari kayu bakar.
Selain itu memenuhi kebutuhan masyarakat, Ethiopia akan mengalirkan listrik dari PLTA menuju transportasi kereta yang mereka miliki sebagai penunjang kehidupan pertumbuhan ekonomi.
Bendungan Hidase atau Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) adalah kunci utama untuk memuluskan rencana mereka.
PLTA ini dibangun di wilayah bagian barat Benishangul, Gumuz lengkapanya berada di sebelah timur negara Sudan.
Bendungan Hidase memiliki luas kontruksi selebar 1,8 kilometer, sedangkan untuk tingginya setinggi 147 meter.
Pembangunan PLTA dilakukan pada tahun 2020 sampai 2022, dengan dapat menampung listrik sebesar 6,35 GigaWatt dan mempunyai 16 turbin generator yang terpasang.
14 turbin yang terpasang memiliki kapasitas sebesar 400 MegaWatt sedangkan 2 turbin lainya dikapasitasi 375 MegaWatt.
Diharapkan dengan dibangunya bangunan ini di Ethiopia, negara tersebut diproyeksikan mempu menghasilkan kapasitas listrik kurang lebih 16.000 GigaWatt per tahunya.
Dengan kapasitas yang besar tersebut, digadang-gadang akan mencukupi sekitar 110 juta masyarakat yang berada di negara tersebut.
Serta jika bendungan ini sudah selesai dan PLTA dapat digunakan maka, mereka juga bisa menjual hasil energi listrik ke negara tetangga.
Hal unik yang ditemukan disini adalah seluruh pegawai negeri memberikan kontribusi dengan 1 bulan gajianya diserahkan untuk pembangunan bendungan ini.
Meskipun pembangunan dam dan pembangkit listrik sudah dilakukan sejak 2010, bangunan ini sampai sekarang masih tahap penyelesaian sekitar 95 persen.
Sayangnya meskipun sudah menelan anggaran yang sangat jumbo, dam tersebut menimbulkan polemik yang berkepanjangan terhadap negara disekitarnya.
Negara Sudan dan Mesir merasakan dampak dari pengambilan air Sungai Nil dengan kapasitas yang sangat besar untuk mengisi bendungan hidase.
Menurut mereka pengambilan air dari Sungai Nil akan mengancam pasokan air yang dimiliki oleh Sudan dan Mesir, yang notabenya Mesir adalah pemegang atau pemilik aliran sungai.
Hal ini telah disepakati dalam perjanjian pada tahun 1929 dan 1959 untuk mengukuhkan Mesir yang memiliki hak paling tinggi dalam pemanfaatan aliran sungai.
Kaarena sebanyak 55,5 miliar kubik air atau 66 persen pengelolaan air di sungai nil diserahkan kepada Mesir, sedangkan untuk Sudan mendapatkan 22 persen.
Pada tahun 2022 yang lalu ketiga negara tersebut untuk membahas kelanjutan permasalahan Sungi Nil namun, Ethiopia tidak setuju dengan draft perjanjian yang diberikan kepada mereka.
Alhasil dari insiden tersebut ketiga negara ini menggaet PBB sebagai jembatan untuk perundingan terkait masalah tersebut.***(Wahyu Adji Nugraha)