Raksasa Minyak Indonesia Nyaris Bangkrut di Era Soeharto, Padahal Sempat Untung Hampir 20 Kali Lipat, Mengapa?

inNalar.com – Industri minyak di Indonesia ini masih dikuasai oleh badan usaha milik negara (BUMN) PT Pertamina.

PT Pertamina sendiri memiliki sejarah yang sangat panjang bahkan sebelum Soeharto menjabat sebagai Presiden.

Perusahaan minyak ini pertama kali dibangun pada tahun 1957 dengan nama PT Permina.

Baca Juga: Inilah Alasan Presiden Soeharto Jarang Mengenakan Atribut Lengkap, Tanpa Pangkat Bintang dan Tanda Jabatan

Pada tahun 1960, PT Permina berubah nama menjadi PN (Perusahaan Negara) Permina. Selanjutnya, pada tahun 1968, PN Permina bergabung dengan PN Pertamin dan menjadi PN Pertamina.

Berdasarkan buku Biografi Daripada Soeharto, pada saat Soeharto menjabat sebagai Presiden, pengelolaan perusahaan minyak utama di Indonesia berada di tangan Ibnu Sutowo, seorang kawan lama dan orang yang dia percaya.

Pengelolaan Pertamina oleh Ibnu Sutowo ini mendapat banyak komentar buruk dari pada tenokrat.

Baca Juga: Intip Perjalanan Karir Cemerlang Soeharto, Berawal dari Kopral sampai Menjadi Presiden Terlama di Indonesia

Gaya kelola dari Ibnu Sutowo yang agresif serta kepercayaan penuh yang Soeharto berikan membuat para tenokrat berpikir kalau yang dilakukan pengelola Pertamina itu terlalu sembrono.

Pada saat itu, PN Pertamina membuat banyak gebrakan baru yang tidak ada hubungannya dengan perminyakan.

Beberapa gebrakan tersebut diantaranya adalah PT Krakatau Steel, hotel dan rumah sakit, bahkan investasi ada sebuah restoran di New York.

Baca Juga: Misterius! Ayah Soeharto Miskin, Tapi Mampu Beri Hadiah Seekor Kambing, Siapakah Dia Sebenarnya?

Meski memiliki banyak gebrakan, namun, PN Pertamina justru bertumbuh besar dari industri utamanya, yakni minyak.

Pada saat itu, perusahaan ini mendapat keuntungan besar, hampir dua puluh kali lipat dari penerimaan di tahun-tahun sebelumnya.

Adapun keuntungan Pertamina pada 1969/1970 adalah Rp 66,5 miliar. Sedangkan, pada tahun 1974/1975 adala sebesar Rp 957,2 miliar.

Jelas saja, keuntungan yang naik drastis ini langsung membuat Pertamina menjadi ‘harta nasional’ dan kepercayaan dari Soeharto kepada Ibnu Sutowo semakin bertambah.

Kepercayaan dari Soeharto yang terus bertambah hari demi hari membuat Ibnu Sutowo semakin bebas untuk melakukan apapun.

Kebebasan akan kekuasaannya tersebut menyeret Pertamina ke dalam masalah besar yang tidak terduga.

Lambat laun, Pertamina mengurangi jumlah pembayaran pajak kepada pemerintah. Bahkan, pada tahun 1974, Pertamina secara sepihak berhenti melakukan pembayaran pajak.

Baca Juga: Telan Rp1,7 Triliun! Mega Proyek Soeharto Lahan Gambut 1 Juta Hektar Kalimantan Tengah Ini Rugikan Negara?

Uang pajak yang seharusnya dibayarkan itu malah digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek internal Pertamina.

Kejadian ini tentu tidak luput dari telinga Soeharto, namun, dia terus diam. Hal ini membuat banyak pihak bersuara protes.

Soeharto baru mengambil tidakan setelah terkuaknya jumlah hutang yang dimiliki Pertamina yakni sebesar USD $ 10,5 miliar.

Berada di ambang kebangkrutan, kasus lainnya pun juga ikut terbongkar.

Kasus tersebut adalah korupsi proyek pengadaan tanker Pertamina.

Buntut dari kasus-kasus tersebut, Ibnu Sutowo diberhentikan “secara hormat” oleh Soeharto pada 3 Maret 1976.

Jabatannya sebagai Direktur Utama Pertamina digantikan oleh Jenderal Piet Haryono.

“Masalah Pertamina itu sungguh merupakan pengalaman yang pahit,” kata Soeharto dalam buku Biografi Daripada Soeharto.***

 

Rekomendasi