PSN PIK 2 Jakarta Utara Dianggap Sengsarakan Masyarakat, Said Didu: Rakyat yang Digusur Tidak Dihitung

inNalar.com – Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) telah menjadi sorotan tajam di kalangan masyarakat, khususnya di wilayah Banten.

Banyak pihak, termasuk pengamat dan tokoh masyarakat, mempertanyakan dampak dari proyek PIK 2 ini terhadap kesejahteraan masyarakat lokal.

PSN ini adalah proyek ambisius pemerintah yang bertujuan untuk mengembangkan kawasan strategis di Kabupaten Tangerang, dengan luas area mencapai 1.756 hektar.

Baca Juga: Sepadan dengan Harga Rp508 Miliar? Begini Pesona Jembatan Layang Terindah di Sumatera Barat

Yang juga dicanangkan sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menciptakan pusat pertumbuhan baru yang diharapkan dapat meningkatkan perekonomian daerah.

Anggaran yang ditelan proyek ini diperkirakan mencapai hingga 40 triliun Rupiah, dengan harapan dapat menyerap sekitar 13.550 tenaga kerja sebagai efek pengganda.

Namun, statusnya sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) justru memicu berbagai masalah, termasuk penggusuran paksa terhadap penduduk setempat dan penurunan nilai tanah.

Baca Juga: Jadi Mega Proyek Kereta Api Pertama di Kalimantan Timur, Ternyata Bangun Jalur 203 KM Bakal Butuh Dana Gemuk

Lebih lanjut, proyek ini dikelola oleh dua perusahaan pengembang yang besar, yaitu Agung Sedayu Group dan Salim Group.

Dimana kedua perusahaan masif tersebut dianggap memiliki kepentingan lebih besar daripada kesejahteraan masyarakat.

Muhammad Said Didu, seorang pengamat politik dan ekonomi, menekankan keprihatinannya atas situasi ini.

Baca Juga: BRI Tingkatkan Layanan Bank Kustodian dengan Fitur Multi-Share Class untuk Akses Keuangan Lebih Luas

Penggusuran yang terjadi sering kali dilakukan tanpa kompensasi yang layak bagi penduduk setempat.

“Rakyat yang digusur tidak dihitung,” ungkap Said Didu pada wawancaranya di kanal Youtube Refly Harun.

Pada sesi podcast tersebut pengamat politik dan ekonomi asal Pinrang ini menyoroti pentingnya perhatian pemerintah terhadap nasib masyarakat yang kehilangan tempat tinggal mereka akibat proyek ini.

Baca Juga: Habiskan Kas Negara Rp40 Miliar, Pembangunan Jembatan di Sumatera Utara Sampai Hancurkan Monumen Penting

Terutama penggusuran masif yang terjadi di desa Kohot dan Muara Sungai Tahang, di mana penduduknya dipindahkan ke lokasi tanpa kejelasan mengenai hak atas tanah baru mereka.

Menurutnya, kebijakan pemerintah yang melarang jual beli tanah di sekitar PIK 2 telah menyebabkan penurunan drastis harga tanah di wilayah tersebut.

Harga tanah yang mulanya bisa mencapai 650.000 Rupiah per meter, namun setelahnya nilainya merosot tajam menjadi antara 0 hingga 150.000 Rupiah per meter.

Baca Juga: Menteri PKP Akan Siapkan Rusun di Jakarta Seharga Rp1,1 Juta untuk TNI/Polri dan ASN dengan Syarat Khusus

Sehingga hal ini memberikan beban tambahan bagi masyarakat yang telah terpinggirkan.

Tak hanya itu Said Didu juga menyoroti bahwa tindakan intimidasi terhadap para pemilik tanah yang enggan melepaskan hak miliknya.

Naasnya hal ini sudah menjadi semacam praktik umum dalam proses pembebasan lahan untuk proyek seperti ini.

Said Didu menjelaskan bahwa banyak warga yang dipindahkan ke lokasi baru tanpa kejelasan mengenai status tanah mereka.

“Tambak dan lahan produktif itu tergusur begitu saja,” ungkapnya.

Meskipun pemerintah menjanjikan penciptaan lapangan kerja melalui proyek ini, banyak masyarakat lokal merasa bahwa janji tersebut tidak terwujud dan hanya menguntungkan kalangan tertentu.

Hingga akhirnya masyarakat lokal mulai bersatu untuk menolak proyek PIK 2, menyuarakan ketidakpuasan mereka melalui berbagai forum dan diskusi publik.

Mereka menuntut agar pemerintah mendengarkan suara rakyat dan menghentikan proyek yang dianggap merugikan ini.***

 

Rekomendasi