

InNalar.com – Beberapa waktu yang lalu, Indonesia memiliki proyek kerja sama dengan perusahaan Amerika Serikat (AS).
Proyek tersebut adalah hilirisasi batu bara yang berada di Tanjung Enim, kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan (Sumsel).
Padahal inovasi ini cukup menarik, karena dari penggunaan bahan mineral tersebut bisa menjadi pengganti LPG (Liquefied Petroleum Gas ).
Sekedar informasi, selama ini sebenarnya kebutuhan gas di Indonesia secara mayoritas selalu melakukan impor yang persentasenya mencapai 80%.
Sementara itu, kebutuhan tabung gas yang selalu diimpor Indonesia tiap tahunnya itu mencapai 6-7 juta ton per tahun.
Karena itulah dengan melakukan hilirisasi gasifikasi batu bara tersebut, maka kebutuhan impor LPG di Indonesia nantinya akan berkurang.
Sebab dari gasifikasi tersebut, nantinya akan tercipta Dimethyl Ether (DME) yang merupakan pengganti LPG.
Adapun proyek gasifikasi menjadi DME ini Indonesia melakukan kerja sama dengan perusahaan Amerika Serikat, yaitu Air Products and Chemicals Inc.
Namun setelah dilakukan groundbreaking oleh presiden Jokowi pada awal 2022, perusahaan asal AS itu di tahun 2023 kemudian justru hengkang atau mengundurkan diri dari proyek ambisius ini.
Padahal proyek ini terbilang cukup fantastis, jika melihat dari sisi investasinya.
Dilansir InNalar.com dari kppip, investasi yang dikucurkan dalam proyek di daerah Tanjung Enim ini mencapai Rp 30,552 Triliun.
Dalam proyek hilirisasi batu bara menjadi DME ini, perusahaan yang bekerja sama adalah PT Bukit Asam Tbk (PTBA), Air Products and Chemicals Inc, serta sebagai partner.
Pengunduran Air Products dari proyek hilirisasi batu bara di Sumatera Selatan ini pun bisa terjadi karena beberapa hal.
Terutama karena melakukan bisnis di Amerika Serikat ternyata dinilai lebih menarik dibandingkan dengan pengerjaan proyek di Indonesia.
Ditambah lagi, pemerintah AS juga akan memberikan subsidi bagi yang melakukan proyek energi baru dan terbarukan (EBT).
Sebenarnya tidak hanya proyek di Tanjung Enim saja yang ditinggalkan oleh Air Products, karena perusahaan tersebut juga memundurkan diri dari proyek hilirisasi batu bara lainnya di Indonesia.
Jika melihat dari sisi lain, justru mundurnya perusahaan asal AS itu malah membuat biaya yang dikeluarkan dalam menjalankan proyek ini akan jadi lebih murah.
Karena dengan mundurnya Air Products, maka yang awalnya akan menggunakan teknologi dari AS akan beralih menggunakan alat-alat dari China.
Apalagi perusahaan dari China itu juga menyebutkan jika memiliki teknologi yang mampu membuat biaya operasionalnya lebih murah.
Sekedar informasi, disebutkan pula jika sebenarnya produk dari AS ini memang tergolong mahal.
Padahal teknologi yang digunakan Air Products ini juga berasal dari China.
Akan tetapi walau rencana hilirisasi batu bara di Tanjung Enim ini telah ditinggalkan AS, namun diwacanakan proyek ini akan tetap dilanjutkan.
Karena PT Bukit Asam Tbk (PTBA) selaku yang mengelola proyek ini akan tetap berkomitmen untuk mendukung pemerintah dengan melaksanakan program hilirisasi batu bara.
Hal itu juga dibuktikan dari PTBA yang telah mengalokasikan cadangan mineral yang diperlukan terkhusus pada pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Sumsel.
Usai ditinggalkan perusahaan AS, sebenarnya PTBA juga telah melakukan pembukaan untuk mencari perusahaan yang ingin melakukan kerja sama dalam melanjutkan proyek ini. ***