

inNalar.com – Presiden RI Prabowo Subianto dalam waktu dekat ini telah membicarakan pembangunan terkait proyek nuklir yang akan dibangun di Indonesia guna mengembangkan teknologi atom yang serupa dengan Amerika Serikat dan Rusia.
Rencana proyek nuklir yang dicanangkan oleh Prabowo Subianto sudah terlihat ketika dia masih menjabat menjadi Menteri Pertahanan di era Presiden Jokowi.
Hal ini bisa terjadi ketika beliau kunjungan kerja ke Moskow, Rusia untuk membahas peluang kerja sama di sektor energi nuklir dengan Presiden Vladimir Putin.
Baca Juga: Rampung Akhir 2024, Pemugaran Benteng di Jawa Tengah Senilai Rp141,2 Miliar Ini Sampai Gusur 7 Rumah
Pengembangan reaksi penggabungan dan pemisahan inti atom untuk diteliti telah terjadi pada awal abad ke 20.
Ketika bom atom pertama kali dijatuhkan di wilayah Hiroshima dan Nagashaki pada saat perang dunia ke II.
Setelah perang tersebut selesai, banyak negara yang berlomba untuk mengembangkan teknologi terkait atom ini.
Indonesia pada saat itu yang tidak masuk kedalam salah satu gerakan blok di dunia juga mencuri pandangan terhadap teknologi ini.
Dilansir dari Fadeli dalam Jurnal Politik Nuklir di Indonesia Masa Soekarno, 1958-1967, disebutkan bahwa pada tanggal 29 Juli 1957 adalah waktu lahirnya International Atomic energy Agency (IAEA).
Dalam pendirian kelembagaan ini sejak tahun 1953 sampai 1957 negara Indonesia mempunyai kontribusi besar sebagai panitia.
Baca Juga: Pertama di Indonesia! Rumah Sakit Jakarta Barat ini Gunakan Teknologi Robotik Untuk Operasi Jantung
Selanjutnya pada tahun 1957 saat IAEA mengadakan konferensi pertama kali, negara kita mengirimkan beberapa delegasi.
Mulai dari hal tersebut pandangan NKRI yang dipimpin oleh Soekarno terhadap teknologi atom berubah yang semula diwarnai dengan pikiran bahaya berubah untuk menjaga stabilitas dunia.
Saat itu setiap anggota dari IAEA akan dikenakan biaya jika masuk ke organisasi ini sebesar $US 29.836,10.
Baca Juga: Habiskan Biaya Revitalisasi Rp46 Miliar, Pasar Kebanggaan Lampung Ini Mampu Tampung 799 Pedagang
Berita tentang proyek yang akan dibangung di Indonesia ini tentunya didengar oleh negara komunis dan kapitalis yaitu RRC dan Amerika Serikat.
Mereka berdua mencoba untuk membiayai NKRI agar negara ini dapat mengembangkan proyek nuklir agar semakin meningkat sayangnya, pemerintahan NKRI tidak dapat melanjutkan pengembangan bersama AS tetapi bersama RRC.
Tentunya RRC menjadi partner yang tepat karena saat itu idealisme yang dianut oleh Soekarno sejalan dengan China, namun hal tersebut juga terhenti karena adanya peristiwa G30S PKI.
Meskipun telah berhenti sejak tahun 1965 yang lalu, pada masa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, energi nuklir akan terus dikembangkan selain menggunakan pembangkit listrik EBT lainya.
Presiden saat ini Prabowo Subianto juga akan mengoptimal potensi energi air, energi surya dan energi geotermal untuk pengembangan energi masa depan.
Untuk penerapan awalan proyek PLTN, nantinya akan di uji coba menggunakan teknologi reaktor modular kecil (SMR) karena masih terkendala keterbatasan lahan.
SMR yang digunakan oleh negara-negara besar mempunyai teknologi canggih dan dapat menghasilkan kapasitas daya sebesar 300 MegaWatt.
Pemerintahan Indonesia memiliki rencana untuk membangun sekitar 5 GigaWatt PLTN hingga tahun 2040 yang akan datang.
Hal tersebut merupakan rencana tambahan dari tujuan utama pembangunan pembangkit listrik EBT baru dengan kapasitas total 100 GigaWatt untuk 15 tahun mendatang.
Tidak memungkinkan juga setelah pembangunan proyek nuklir untuk PLTN nanti selesai, negara kita berkemungkinan akan membuat senjata nuklir untuk pertahanan negara.
Karena untuk saat ini ketegangan geopolitik global semakin meningkat, ditandai salah satu negara kecil yaitu Israel telah memproduksi hulu ledak nuklir sebanyak 90 bom.
Kementerian Kesehatan Palestina yang dijalankan oleh Hamas mencatat bahwa lebih dari 10 ribu orang telah tewas dan 4 ribu diantaranya anak-anak.
Tentunya jika Israel nekat menggunakan senjata berbahaya tersebut untuk menyerang palestina, bisa membuat seluruh dunia akan mengalami ketegangan geopolitik.***(Wahyu Adji Nugraha)