

inNalar.com – Pemerintah secara resmi akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. Dengan demikian, PPN 2025 di Indonesia akan samai negara ini.
Kebijakan ini merupakan penerapan dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah disahkan pada 2021.
Kenaikan yang dilakukan dilakukan untuk beberapa alasan, seperti meningkatkan pendapatan negara, terutama pasca pandemi Covid-19.
Selain itu, diharapkan dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai dapat mengurangi ketergantungan RI pada utang luar negeri demi tutupi defisit anggaran.
Kemudian sebagai bentuk penyesuaian dengan standar Internasional. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai ke 12 persen masih termasuk rendah dibanding negara maju lainnya.
Kementerian Keuangan menyebut bahwa negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) punya tarif Pajak Pertambahan Nilai 15 persen.
Baca Juga: Kapal Fregat Merah Putih Karya Anak Bangsa Siap Menggebrak Dengan Tempur Empat Matra
PPN adalah pajak yang diterapkan kepada settiap transaksi jual beli barang atau jasa oleh konsumen, melansir dari lama PPA&K.
Pajak jenis ini termasuk dalam pajak tidak langsung, di mana beban pajak ditanggung oleh konsumen akhir, sedangkan produsen atau pelaku usaha bertugas untuk memungut dan menyetorkannya kepada negara.
PPN pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada 1983 dengan tarif awal sebesar 10 persen, yang bertahan hingga April 2022 sebelum dinaikkan menjadi 11 persen.
Kini, dengan penyesuaian menjadi 12 persen, RI akan memiliki tarif PPN 2025 dengan nilai tertinggi di kawasan ASEAN menyamai Filipina, dan melampaui Singapura yang tarifnya saat ini 9 persen.
Dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia menjadi 12 persen pada tahun 2025 mendatang, berikut besaran tarif PPN Negara di kawasan Asia Tenggara:
– Filipina 12.0 %
– Indonesia 12.0%
– Kamboja 10.0%
– Vietnam 10.0% dan 5% (two tier system)
– Singapura 9.0%
– Malaysia 8.0%
– Thailand 7.0%
– Laos 7.0%
– Myanmar 5.0%
– Timor Leste 2.5%
Baca Juga: Timnas Indonesia Vs Arab Saudi: Laga Penentu Tim Garuda Lolos Piala Dunia 2026
Namun, kebijakan ini tidak terlepas dari berbagai konsekuensi, terutama terhadap daya beli masyarakat dan aktivitas ekonomi domestik.
Peningkatan tarif Pajak Pertambahan Nilai hampir pasti akan memengaruhi harga barang dan jasa yang dikenakan pajak tersebut.
Dengan kenaikan harga, daya beli masyarakat berpotensi melemah, terutama bagi kelompok menengah ke bawah.
Baca Juga: Selain Bangka Belitung, Prabowo Digadang Bakal Bangun Proyek Nuklir di Jawa Tengah
Situasi ini dapat memicu efek domino pada konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Bagi pelaku usaha, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), kenaikan tarif PPN juga menghadirkan tantangan tersendiri.
UMKM yang selama ini bergantung pada daya beli masyarakat perlu menyesuaikan strategi harga agar tetap kompetitif.
Meskipun demikian, pemerintah optimis bahwa kebijakan ini akan memberikan manfaat jangka panjang.
Dengan tambahan pendapatan dari PPN, anggaran negara dapat lebih difokuskan pada sektor-sektor strategis yang mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Selain itu, pemerintah berencana untuk terus memperbaiki efisiensi penggunaan anggaran sehingga manfaat dari peningkatan penerimaan pajak dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.***(Muhammad Arif)