Pohon Kemenyan di Kampung Sumatera Utara ini Dulunya Hasilkan Getah Senilai Emas, Kini Nasibnya…

inNalar.com – Indonesia dengan alamnya yang begitu kaya kini ternyata perlahan tergerus. Salah satunya Pohon Kemenyan atau Haminjon yang tersebar pada kampung di tanah Batak Sumatera Utara kini tidak sudah tidak sebanyak dulu.

Bagi para tetua di Batak, Pohon Kemenyan ini adalah berkah Tuhan karena getahnya membawa kesejahteraan masyarakat, khususnya di Kampung Pandumaan dan Sipituhuta masih menjaga kesakralannya. Pasalnya, tanaman raksasa ini nilainya setara harga emas.

Pohon haminjon ini salah satunya tersebar di Kampung Pandumaan dan Sipituhuta yang berada di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Baca Juga: Trauma Gempa Dahsyat, Warga Kampung di Yogyakarta Ini Hidupnya bak Suku Eskimo Kutub Utara

Sampai sekarang, ketika warga di desa Batak ini memulai pekerjaan di tombak haminjon, mereka masih melakukan ritual marhottas.

Sesajen itak gurgur dan na marmiak-miak

Apa artinya?

Ketika ritual mereka menyajikan sesajen itak gurgur dan na marmiak-miak. Itak gurgur adalah makanan yang terbuat dari tepung beras dan gula merah, kemudian na marmiak-miak bisa menggunakan daging babi dan telur ayam kampung.

Baca Juga: Wow! Uang 25 Rupiah Kuno Ini Laku hingga Rp200 Juta di Pelelangan

Mereka jadikan sesajen itu untuk persembahan leluhur dan penjaga Pohon Haminjon agar petani diberi hasil panen berlimpah dan kesehatan dalam pekerjaannya.

Setelah martonggo atau berdoa, kemudian itak dan daging dioleskan ke Pohon Hominjon dan mereka bersenandung, “parung simar dagul-dagul, sahali mamarung gok appang, gok bahul-bahul.”

Dulunya legenda Putri haminjon sangat terkenal di Kampung Pandumaan dan Sipituhuta khususnya kalangan orang tua. Namun, saat ini generasi muda semakin abai dengan legenda-legenda para pendahulunya.

Baca Juga: 20 menit dari Pusat Kota Ternate, Kampung Unik ini Punya Hutan Cengkeh Tertua di Dunia

Sebelum agama Kristen masuk ke Humbang Hasundutan, menyan banyak dimanfaatkan masyarakat Batak di Sumatera Utara untuk menjalankan ritual menyembah Sang Pencipta.

Bahkan asap pembakaran menyan yang membumbung tinggi menjadi representasi doa yang naik kepada Sang Penguasa Jagat Raya.

Wangi kemenyan yang dibakar dianggap mampu mendatangkan juga mengusir roh halus.

Baca Juga: Inilah Deretan 4 Misteri di Balik Uang Kertas Rp 1.000 Bergambar Kapitan Pattimura

Namun, setelah agama Kristen masuk, mereka mulai menganggap kemenyan hanya sebatas nilai ekonomis yang menggerus kesakralan dan spiritualis.

Harganya Kemenyan setara Emas

Selain sakral, Pohon Haminjon di Sumatera Utara ini mampu mensejahterakan masyarakat karena nilai jualnya yang tinggi. Harganya pun dihargai semahal emas.

Baca Juga: Timnas eFootball Indonesia Raih Juara Dunia FIFAe World Cup 2024, Menang Dramatis atas Brazil di Riyadh

Para petani haminjon ini bahkan mampu menyekolahkan putra-putrinya sampai perguruan tinggi.

Dilansir dari Surat kabar Imanuel yang diterbitkan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) pada tanggal 24 Oktober 1920, dalam majalah itu menampilkan grafik hasil bumi Tapanuli Utara.

Ternyata tahun 1919, hasil bumi wilayah tersebut didominasi oleh karet, kopi, kopra dan kemenyan.

Produksi kemenyan dari Pohon Haminjon dapat mencapai 1,8 ton dengan hasil penjualan sebanyak 1,5 juta Gulden.

Pedagang dapat untung banyak karena harga belinya 70 sen per kilogram dan mereka dapat menjual dengan harga hingga 2,22 Gulden.

Duka di Tanah Leluhur

Saat ini pohon haminjon masih tumbuh di hutan yakni di ketinggian 900-1.200 mdpl, bersuhu antara 28-30 derajat Celsius.

Getah ini dihargai paling tinggi, sekitar Rp 300.000-an per kilogram. Namun, saat ini karena minimnya peran Pemda dalam pemasaran membuat harganya di pasaran sering tidak stabil.

Para tengkulak menguasai pasar mulai dari kampung sampai ke pembeli. Saat ini anak-anak muda di suku Batak juga tertarik menjadi petani karena dianggap tidak menjanjikan.

Ditambah lagi dengan proyek food estate dan maraknya perluasan alih fungsi hutan alam menjadi monokultur membuat kemenyan semakin sulit ditemukan.

Selain di desa Kampung Pandumaan dan Sipituhuta, Para petani di Kecamatan Pollung juga mengatakan bahwa sejak lima tahun lalu haminjon telah berakhir masa jayanya.

Petani yang dulunya dapat hasilkan hingga 200 kg kemenyan per tahun dengan penghasilan Rp70-Rp100 juta. Sekarang hanya mampu mengumpulkan 70 kg per tahun.***