
inNalar.com – Sesuai Undang-Undang Harmonisai Peraturan Pajak (UU HPP) nomor 7 tahun 2021, setiap warga negara Indonesia dengan penghasilan Rp 5 juta per bulan, wajib membayar Pajak Penghasilan Pasal 21 (Pph 21). Begitupun juga berlaku bagi seorang pekerja seks komersial (PSK).
Setiap profesi adalah mulia selama memberi manfaat, kendati PSK adalah profesi yang melenceng dengan nilai norma dan agama.
Menjadi PSK lekat akan himpitan ekonomi. Kebutuhan perut yang tak mengenal kata libur membuat seseorang terpaksa menggeluti profesi ini.
Sebut saja Magdalena, wanita berkulit sawo matang Asal Jawa Tengah, terpaksa menjadi wanita penghibur demi membiayai anaknya menuntut ilmu di pesantren.
Ia terlahir dari keluarga miskin, ayah-ibunya sehari-hari bekerja sebagai buruh tani. Tak kuat hati Magdalena meminjam uang demi menghidupi ketiga anaknya setiap hari.
Wanita ini masuk dunia pelacuran mulai 1998. Mulanya, dia ke Semarang untuk mencari pekerjaan yang halal. Namun, karena tak punya ijazah membuat Magdalena ditolak banyak perusahaan.
Tak lama berselang, ia lantas bertemu seorang sopir truk yang besar hati merawat turut merenggut mahkotanya.
Setelah bosan, sang sopir lantas membawa Magdalen ke GBL, sebuah area lokalisasi di Sumberejo, Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah.
Sejak saat itulah, Magdalena mulai menjadi seorang pekerja seks komersial (PSK) hingga sekarang.
Baca Juga: SKB Tiga Menteri Tegaskan 18 Agustus Bukan Libur Nasional
Ini hanyalah satu kisah yang terkuak ke publik. Di luar sana masih banyak PSK dengan nasib serupa tak sama.
Jumlah PSK di Indonesia memang susah dipastikan karena sifatnya profesi ilegal. Namun, Badan Pusat Statistik (BPK) sempat mendata bahwa ada 56.000 PSK yang berada di lokalisasi resmi.
Jumlah tersebut diprediksi bisa tiga kali lipat lebih banyak jika termasuk PSK ‘terselubung’ yang kerap beraksi di luar area lokalisasi.
Di Indonesia sendiri, tidak ada undang-undang khusus yang secara eksplisit melarang prostitusi. PSK dianggap melanggar norma kesusilaan dan hukum, sehingga dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan.
Kendati begitu, terdapat regulasi khusus untuk menjerat PSK/germo/mucikari jika mengacu pada KUHP lama pasal 296, berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp15 juta.”
Mengutip buku R.Soesilo bertajuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (halaman 217), menjelaskan bahwa pasal tersebut berfungsi untuk meberantas entitas atau orang yang mengadakan bordil atau tempat pelacuran.
Supaya bisa dihukum, wajib dibuktikan bahwa perbuatan itu menjadi mata pencaharian pelaku setiap hari.
Bagi pengguna jasanya pun rupanya juga tidak ada regulasi khusus dalam KUHP. Meski begitu, penikmat layanan PSK bisa disangkakan pasal perzinahan jika terbukti memiliki pasangan sah secara negara dan agama.
Berikut bunyi pasal 284 KUHP:
Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan:
a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Terbaru, wacana soal PSK bakal dikenakan pajak penghasilan ramai dibahas oleh publik di media sosial.
Pengacara kondang, Hotman Paris menilai hal itu sah-sah saja secara hukum perpajakan. Menurutnya, pajak penghasilan tidak mengenal istilah halal atau haram.
“Pajak untuk PSK? Jawabannya adalah yes, pajak dipungut dari setiap jenis income, baik halal maupun tidak halal,” kata Hotman Paris pada Kamis (7/8/2025) melalui akun Instagram resminya.
Pria 65 tahun ini lantas memberikan aktivitas ilegal lain untuk memperkuat argumennya yang sama dengan pendapatan PSK.
“Pajak dipungut dari pendapatan resmi Anda, judi juga dikenakan pajak, PSK juga dikenakan pajak kalau ketahuan,” tegas Hotman Paris.
Artinya jika seorang PSK melaporkan penghasilannya secara resmi, kemungkinan besar orang-orang pemakai jasanya ikut tercatat dalam laporan.
“Hati-hati nama kamu masuk di SPT cewek itu,” pungkasnya dengan nada khas.
Isu perpajakan memang tengah memanas di Indonesia. Puncaknya saat Bupati Pati, Sudewo menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen.
Kebijakan tersebut sontak ditolak oleh warga Pati dengan aksi demo besar-besaran pada 13 Agustus 2025 lalu.
Sadar kebijakannya memunculkan kegaduhan, Sudewo lantas menarik rencana pajak PBB-P2 senilai 250 persen tersebut.