

InNalar.com – Ada sebuah pernyataan yang kerap kali kita dengar, “Siapa bilang orang tua tidak bisa durhaka kepada anaknya?”.
Pernyataan ini muncul sebagai bentuk refleksi atas berbagai tekanan dan harapan yang dipaksakan oleh orang tua ke anaknya, yang dalam banyak konteks, tidak sejalan dengan apa yang sebenarnya anak inginkan.
Misalnya, memaksakan anak untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) karena di generasi orang tua, pekerjaan tersebut merupakan simbol keberhasilan, atau memilih pasangan hidup untuk anak sesuai dengan keinginan mereka bukan anak.
Habib Ja’far mengutip dari perkataan Sayyidina Ali orang tua yang membesarkan anak semestinya yang sesuai dengan zamannya anak, bukan lagi dengan zaman orang tua.
Ini dapat menjadi masalah serius, karena dalam menjalani hidup, seharusnya anak memiliki ruang untuk mengekspresikan diri dan mewujudkan potensi mereka sendiri, bukan hidup dalam bayangan harapan dan ekspektasi orang tua.
Memang dalam pandangan agama Islam dan norma-norma yang telah berkembang di masyarakat.
Seorang anak, di wajibkan untuk taat dan patuh terhadap orang tua. Namun sebenarnya, yang benar-benar diajarkan oleh Islam adalah orang tua harus menunaikan hak anak seperti memberi nama yang bagus, memberi nafkah yang cukup.
Lalu, yang terpenting adalah mengajarkan kecintaan anak kepada Allah dan al-Qur’an yang telah diberikan kepada Nabi Muhammad Saw.
“Bukan hanya dipaksa untuk sholat, untuk puasa. Tapi mengenal apa itu sholat apa itu puasa. Bukan hanya dipaksa untuk membaca al-Qur’an, tapi mengenal apa itu al-Qur’an. Jika itu semua tidak ditunaikan oleh orang tuanya.”
“Maka mereka menanggung semua dosa anaknya. Itulah orang tua yang durhaka kepada anaknya.” Kata habib Ja’far dalam channel youtube Cahaya Untuk Indonesia.
Islam tidak mengajarkan orang tua untuk memaksakan kehendak mereka, orang tua bisa membimbing anak menuju hal yang baik, mendukung hal-hal positif yang mereka minati, dan memperingatkan anak jika mereka mengerjakan hal-hal yang buruk.
Hal ini dapat kita lihat pada firman Allah Surah al-Kahfi ayat 46:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Tetapi amal saleh yang kekal itu lebih baik pada sisi Tuhanmu untuk pahala dan lebih baik untuk menjadi harapan.”
Dalam ayat ini, anak dianggap sebagai perhiasan hidup, mereka tidak seharusnya menjadi alat untuk mewujudkan harapan orang tua.
Kemudian dalam hadits Nabi Saw menjelaskan,
Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya … seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas keluarganya; seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia bertanggung jawab atas rumahnya … “. (HR. Bukhari dan Muslim).
Baca Juga: 3 Cara Taubat Terbaik Menurut Ustadz Adi Hidayat, Muslim Harus Tahu Soal Ini, Apa Saja?
Hadits ini mengingatkan bahwa orang tua bertanggung jawab untuk mendidik anaknya, bukan memaksanya.
Pada akhirnya, yang terpenting adalah menciptakan keseimbangan antara berbakti kepada orang tua dan menghargai pilihan dan potensi diri anak.
Setiap individu berhak untuk mengejar impian dan tujuannya sendiri, sepanjang itu tidak melanggar norma dan nilai-nilai agama.***