Ojol Tuntut Potongan Tarif 10 Persen saat Demo, Begini Kata Petinggi Grab Indonesia

inNalar.com – Lima belas tahun setelah aplikasi ojek pertama meluncur di negeri +62, Indonesia akhirnya berhasil menciptakan satu lapangan kerja yang fleksibel, digital, dan bisa dilimpahkan sepenuhnya pada pengemudi ojek online (ojol).

Selasa, 20 Mei 2025, jalanan sekitar Monas kembali dipenuhi rombongan hijau dan oranye yang kali ini tidak sedang berebut orderan, tapi berusaha merebut logika; mengapa potongan mereka bisa tembus lebih dari 20%?

Mereka bekerja 24/7, tanpa meja, tanpa tunjangan, tanpa libur, dan tanpa harapan. Mereka tidak minta banyak, hanya ingin potongan tarif 10 persen.

Baca Juga: RUU Perampasan Aset: Ketika Komitmen Antikorupsi Terjebak di Lobi-lobi Politik

Dalam audiensi bersama Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi, para driver menyampaikan aspirasi, bahwa terdapat intrik di balik layar aplikasi, karena mereka merasa potongan mereka lebih dari 20%.

Namun seperti biasa, pertemuan berakhir damai. Seperti biasa, pemerintah mendengar, aplikator menjawab, dan pengemudi kembali bekerja dengan membawa pulang ketidakpastian yang sama.

Sementara itu, di lantai kaca gedung tinggi, Chief of Public Affairs Grab Indonesia, Tirza R. Munusamy, menjelaskan dengan nada bijak dan nada korporat yang sudah terlatih: bahwa Grab itu sekarang ‘bantalan sosial’.

Baca Juga: Dapat Reduksi Tiket KAI 10 Persen, Mahasiswa dan Alumni 18 Universitas Ini Wajib Tahu Cara Mengaktifkannya!

Tepat sekali! Beliau membilang bahwa ojol adalah semacam kasur darurat bagi masyarakat yang jatuh dari sistem kerja formal.

Seperti begini kiranya, ‘Kalau belum punya pekerjaan? Ayo narik’, ‘Punya gelar sarjana tapi belum bekerja? narik dulu sambil cari kerja’, ‘Gagal di wawancara? Minimal bisa antar order makanan’.

Eits, tapi jangan salah paham, ya! Grab bukan perusahaan sembarangan. Mereka punya marwah. Dan marwah itu adalah: fleksibilitas. Tidak boleh dirusak oleh sistem kepegawaian.

Baca Juga: 31% Gen Z Pilih Tinggalkan Kuliah Berdasar Survei Deloitte 2025, Alasannya Mengejutkan!

Dan jangan lupakan satu hal penting: jika para pengemudi benar-benar diangkat jadi karyawan tetap, maka narasi kemitraan yang fleksibel dan inovatif itu bisa runtuh seketika.

Perusahaan tidak lagi bisa menyerap jutaan “mitra” yang bekerja dalam status abu-abu; cukup taat tanpa perlindungan, cukup loyal tanpa gaji tetap. Apalagi jika mereka mulai menuntut hal-hal radikal seperti upah minimum, jaminan sosial, atau bahkan cuti.

Di tengah gegap gempita revolusi digital, para pengemudi ojol justru diparkir di pinggiran sistem. Mereka dielu-elukan sebagai garda depan transformasi teknologi, tapi tetap diganjar upah yang kadang tak cukup untuk membeli bensin dan makan siang sekaligus.

Baca Juga: Nama Disebut Saat Sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Budi Arie Setiadi Bantah Cawe-Cawe Lindungi Situs Judi Online

Ojol disebut mitra, tapi tidak pernah benar-benar bisa menawar. Diperlakukan seperti pelopor, tapi hidup seperti pekerja lepas yang terlupakan.

Jadi, sambil menunggu pemerintah menemukan definisi baru dari “kemitraan”, para pengemudi ojol kembali ke jalan. Menjemput order, menunggu insentif, dan berharap satu hari nanti pemotongan 10% terjadi. ***