

inNalar.com – Perumahan merupakan hunian yang aman dan nyaman untuk ditinggali karena terdapat banyak fasilitas yang menunjang di dalamnya. Namun hal tersebut tidak terjadi untuk warga di Kabupaten Karawang sejak pemerintahan Soeharto.
Lahan yang semula diperuntukan sebagai pertanian karet pada tahun 1991 yang diolah PTPN 12 di karawang ini telah berubah menjadi perumahan.
Tidak disangka, Proyek perumahan yang kemudian diambil alih oleh empat perusahaan milik keluarga cendana, Soeharto berubah menjadi kota mati.
Baca Juga: Whoosh! Melesat Tajam 350 Km per Jam, Kereta Cepat Jakarta-Bandung Sampai Viral di Media Asing
Adapun keempat perusahaan yang mengambil alih lahan di antaranya, yaitu PT Hutomo Mandala Putera dan PT Adiyesta Cipta Tama, PT Sentra Bumilokatama dan PT Graha Jati Indah.
Setelah berpindah kepemilikan tangan, pada tahun 1993 sampai 1997 PT Hutomo Mandala Putera yang dikelola oleh Tommy Soharto akhirnya membangun komplek hunian baru.
Kabarnya perumahan dengan luas lahan sekitar 25 hektare tersebut dikelola oleh perusahaan cendana yang dipegang Siti Hardijanti Hastuti Indra Rukmana atau bu Tutut.
Pembangunan komplek hunian tersebut dinamai dengan Perusahaan Umum (Perum) Perumahan Karawang Baru.
Komplek hunian tersebut sebenarnya diperuntukan kepada karyawan yang bekerja di perusahaan PT Timor Putera Nasional.
Sebuah perusahaan otomotif yang bergerak sebagai pemproduksi mobil dari tahun 1996 sampai 2000 yang dipegang oleh Tommy Soeharto.
Baca Juga: Biaya Tembus Rp6,1 Kuadriliun! Jalan Layang dengan Lift Ajaib di China Ini Bisa Bikin Kapal Melayang
Sayangnya perusahaan tersebut tidak mempunyai keberuntungan yang besar seperti perusahaan lainya, karena pada rentang setelah pabrik tersebut berdiri terjadi gejolak krisis keuangan dan ekonomi yang dialami Soeharto.
Sehingga berdampak kepada PT Timor dan juga pekerja yang berada dibawah naungan perusahaan tersebut sehingga sehingga terjadi banyaknya PHK kepada karyawan.
Layaknnya efek domino, dampak terjadinya pemecatan karyawan berimbas kepada sulitnya mendapatkan pemasukan untuk membayar kredit hunian di komplek tersebut.
Baca Juga: Kisah Sukses Pelaku UMKM di Simalungun: dari AgenBRILink, Kehidupan Rida Siahaan Berubah Drastis
Pada saat itu harga kredit rumah yang ditetapkan kepada karyawan sebesar Rp 55 ribu per bulan dengan tenor atau jatuh tempo 15 tahun.
Jumlah uang yang cukup besar pada waktu tersebut membuat mereka tidak memiliki alasan lagi untuk bisa bertahan di pemukiman tersebut dan akhirnya meninggalakn hunian mereka.
Mereka yang meninggalkan komplek bukan hanya yang masih memiliki tanggungan tetapi yang sudah lunas pun juga meninggalkan hunian ini.
Baca Juga: Dukung Kualitas Pendidikan Anak TNI-Polri, BRI Salurkan Beasiswa di Hari Pahlawan
Salah satu alasanya yaitu untuk mencari pekerjaan yang lebih layak lagi di daerah yang berbeda, karena dampak kejatuhan era Soeharto pada tahun 1998.
Ditambah adanya masalah pajak yang tidak dibayarkan sejak tahun 1993 sehingga pihak pengembang meninggalakan proyek ini.
Padahal Perumahan Karawang saat itu baru saja mempromosikan beberapa hunian dan sudah ada beberapa rumah yang dihuni oleh para pegawai perusahaan.
Hunian yang semula mewah pada zamanya karena dilengkapi oleh infrastruktur lengkap seperti pasar, ruko dan juga taman.
Sekarang menjadi kampung mati yang terisolasi dari dunia luar karena sudah tidak diperhatian oleh pihak yang bertanggung jawab.
Pemerintah daerah Karawang yang seharusnya mengambil alih lahan ini dibuat tidak berkutik karena kurangnya sayarat administrasi yang dimiliki oleh komplek hunian ini.
Infrastruktur mulai dari jalanan, rumah, pos keamanan, pasar, ruko dan taman bermain sudah terbengkalai dan tidak terawat.
Puncaknya pada tahun 2015, Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Uaha (HGU) dicabut, menyebabkan adanya penjarahan dan pencurian di berbagai rumah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Hanya menyisakan bangunan kosong dan yang tidak lengkap, karena hanya ada tembok yang berdiri.
Akses jalan menuju komplek ini juga mengalami kendala karena tidak adanya perbaikan selama bertahun-tahun dan tidak adanya campur tangan pemerintah terhadap pengelolaan wilayah ini.
Masyarakat hanya mengandalkan donasi secukupnya untuk memperbaiki jalanan dan infrastruktur lainya, bahkan mereka telah menaggung beban utang dalam mempertahankan Perumahan Karang Baru ini.
Semoga untuk kedepannya Pemerintahan Daerah Karawang menemukan alternatif penyelesaian lahan hunian ini untuk kepentingan masyarakat mereka yang telah terisolasi akibat kejatuhan era Soeharto.***(Wahyu Adji Nugraha)