

inNalar.com – Isu mengenai tenggelamnya Jakarta di masa depan sudah lama menjadi perbincangan berbagai kalangan.
Menurut Jan Sopaheluwakan, peneliti geoteknologi, ia memprediksi apabila tidak adanya perubahan besar dan revolusi infrastruktur maka Jakarta akan benar-benar tenggelam pada tahun 2050 (Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri).
Hal ini tentu bukan tanpa alasan, adanya laju maksimum penurunan tanah di Jakarta mencapai 6 cm per tahun.
Dilansir dari YouTube KabarPedia, berdasarkan patok penanda di daerah Pluit menyatakan penurunan tanah sebesar 5-12 cm per tahun.
Sehingga dapat dikatakan bahwa daerah Jakarta dalam 10 tahun ke depan penurunan tanah bisa sekitar 1,2 meter.
Tentu saja ini menjadi masalah yang serius bagi pemerintah dan masyarakat yang berada disana karena terancam kehilangan tempat tinggal.
Salah satunya menara Syahbandar di pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta Utara.
Menara yang telah berdiri sejak zaman Belanda itu kini tampak miring dan kini lebih dikenal dengan sebutan menara miring.
Kemudian, kampung apung yang berada di wilayah Jakarta Barat dulunya berupa daratan yang sebagian menjadi area pemakaman.
Namun, mulai dari awal tahun 1990 kampung ini memang mulai tenggelam karena air laut. Padahal sebelumnya dikenal dengan nama kampung Teko.
Menurut penelitian dari Amarta Institute selama tahun 1982-1997 daerah Cengkareng mengalami tanah ambles lebih dari 160 cm.
Hal itu, menyebabkan ketinggian kampung apung atau Teko di Jakarta Barat mencapai 150 cm.
Bahkan, hampir setengah warga di kampung Teko menaikkan rumahnya dengan bahan dasar kayu dan banyak ditemukan rumah di badan jalan.
Lalu, di bagian pesisir tepatnya di kawasan Muara baru terdapat masjid Waladuna yang hampir 11 tahun telah ditinggalkan oleh jamaahnya.
Sebab, sebagian besar masjid telah digenangi oleh air laut. Padahal dulunya masjid ini menjadi salah satu pusat peribadatan umat Islam.
Ternyata ada 4 jenis penurunan muka tanah yang terjadi di Jakarta seperti ekstraksi air tanah, beban konstruksi, konsolidasi alami dan penurunan tanah tektonik.
Ini tentunya menjadi masalah bersama yang harus segera dicarikan solusinya.
Sehingga di masa depan kota Jakarta tidak akan menjadi kenangan yang hanya dapat diceritakan oleh anak cucu kita.***