Miring 33 Derajat! Kehidupan di Desa Jawa Tengah Ini Jadi Unik Gegara Tumpangi Lereng Gunung Merbabu

inNalar.com – Phobia ketinggian dan hal-hal yang curam jangan coba-coba! Di pelosok Boyolali, Jawa Tengah, terdapat dusun unik yang medannya ekstrem dan menguji adrenaline

Inilah Dusun Tempel, lokasinya unik karena berada di area atas Jawa Tengah, tepatnya di lereng Gunung Merbabu Boyolali dan berdekatan dengan gunung merapi di Magelang, yang otomatis tidak seperti pemukiman biasa. 

Kehidupan di desa curam ini termasuk pemukiman tertinggi di Indonesia, bahkan saking tingginya kabut-kabut yang bersumber dari pegunungan terlihat seperti berada di bawahnya. 

Baca Juga: 5 Koin Kuno Termahal di Dunia, Urutan Kelima Harganya Tembus Rp142,6 Miliar per Keping

Selain itu, ketika berada di kawasan tersebut, seakan-akan sedang ada di atas awan dan kabut-kabut yang tebal bergerak mendekati perumahan hingga cuaca menjadi sangat dingin. 

Rumah-rumah yang berjajar dan jalanan tempat aktivitas masyarakat pun tentunya mau tidak mau dibangun dalam kondisi tanah yang miring. Bahkan, mencapai 25-33 derajat. 

Secara administratif, dusun tempel termasuk bagian Desa Jerakah, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, bersebelahan dengan dusun bentrokan di Kabupaten Magelang. 

Baca Juga: Jadwal Liga 1 Hari Ini, 13 Desember 2024, Prediksi Skor, dan Live TV

Melansir Youtube Cerita Desa Indonesia, pada Rabu(13/12), bukan hanya tinggi dan miring, alasan berikutnya mengapa perkampungan ini menguji adrenaline yaitu karena tidak ada pembatas jalan. 

Entah karena pembiayaan yang belum memadai atau minimnya perhatian pemerintah, pembatas jalan hampir tidak ditemukan di setiap sudut pemukiman tersebut.

Oleh karenanya, pejalan yang masih amatir atau phobia ketinggian dan area miring, akan semakin tertekan jika memaksakan untuk hidup dan aktivitas di sini, terutama saat kabut-kabut mulai turun. 

Baca Juga: Deretan Uang Kertas Kuno Indonesia dengan Harga Termahal, Nomor 3 Bisa Dibeli Kolektor hingga Rp 298 Juta

Namun meskipun ekstrem, Melansir YouTube Kacong Eksplorer, pada Jumat (13/12), kampung di pelosok Boyolali, Jawa Tengah tersebut dihuni oleh 48 KK (Kepala Keluarga) dan sekitar 172 jiwa, dengan tota sekitar 28 rumah. 

Tepian jurang tidak menjadi hambatan bagi masyarakat setempat, merekasudah terbiasa dan  survive untuk beraktivitas normal, bahkan dapat menggunakan kendaraan seperti motor. 

Selain itu, warganya juga memiliki kreativitas yang tinggi untuk menciptakan sejumlah inovasi demi menunjang keberlanjutan dan kesejahteraan hidup mereka di atas pegunungan. 

Baca Juga: Gunakan Metode 3D, Begini Cara Membedakan Uang Kuno Asli dan Palsu

Di antaranya, saat kesulitan air, masyarakat di kawasan miring Jrakah ini berinovasi dengan sistem PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) yang berbasis kearifan lokal warga desa. 

Mereka menampung air dalam bak kantrol yang berasal dari mata air di puncak gunung merbabu. Kemudian didistribusikan melalui pipa ke rumah-rumah hunian mereka.  

Air yang dihasilkannya pun sangat berkualitas, baik dari segi kejernihan maupun kesegarannya, sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai kebutuhan. 

Uniknya, karena di kawasan Jrakah tersebut terdapat banyak perkebunan sayuran, terutama wortel, untuk menutup saluran penampungan air pun mereka menggunakan wortel. 

Dalam hal ini, sama dengan kawasan pegunungan lainnya, sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai petani dan sebagiannya lagi mengadu nasib sebagai peternak. 

Baca Juga: Ciri-Ciri Uang Kertas Kuno yang Digunakan Hindia Belanda Sebelum Indonesia Merdeka

Namun uniknya, dalam hal pertanian, mereka menggunakan sistem pertanian tumpang sari, yaitu pola menanam lebih dari satu jenis tumbuhan pada satu lahan dan waktu yang berbarengan. 

Sementara itu, dalam hal perternakan, tapi bisa dipungkiri, kawasan tepi jurang yang curam tersebut rupanya menganggu ternak-ternak mereka untuk di gembala di ruang terbuka.

Akibatnya para peternak harus membuat kandang-kandang untuk menempatkan hewan peliharaannya di tempat hunian atau ruangan seperti rumah. 

Selain itu, kawasan miring di desa jrakah ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas umum, mulai dari masjid sebagai tempat ibadah hingga sekolah dasar sebagai tempat menuntut ilmu. 

Walaupun kondisinya masih terbatas dan sangat sederhana, fasilitas-fasilitas tersebut menunjang kebutuhan mereka sehari-hari. 

Namun sayangnya, karena akses pembelajaran yang masih terbatas dan tingkat kesadaran masyarakat terhadap pendidikan masih kurang, lulusan SMA masih sangat jarang di tempat ini.

Selain itu, menurut keterangan warga setempat, hidup berdampingan dengan alam yang ekstrem, tentu terdapat sejumlah suka duka, terutama saat meletusnya gunung merapi. 

Pada 2010, saat gunung merapi Magelang dengan status aktif tersebut meletus, aliran listrik di Dusun Tempel mati total selama satu bulan, sehingga aktivitas mereka banyak terganggu. 

Tetapi, menurutnya, pada saat itu, tidak ada seorang pun warga yang mengungsi. Karena abu vulkanik atau abu wedus gembel Gunung Merapi tersebut tidak mengarah ke Dusun Tempel. 

Hanya saja, mereka tetap menjadi tidak bisa tinggal di dalam rumah dan harus selalu beraktivitas di luar karena kondisi tersebut karena keadaannya yang gelap.***