

inNalar.com – Dengan dianggapnya sebagai hama, maka pemerintah Australia hendak melakukan pembasmian kucing liar menggunakan racun.
Pasalnya Di Australia, yang dikatakan sebagai negara kangguru itu telah memperkirakan dalam 24 jam kucing liar dapat membunuh sekitar 1,7 juta reptil dan 3 juta mamalia.
Karena itu, maka kucing liar dituduh pemerintah Australia sebagai pembunuh spesies asli yang ada dalam negara kangguru tersebut.
Sebelum membahas apa yang terjadi jika keberadaan kucing tidak ada, ada baiknya membahas tindakan seperti apa yang hendak dilakukan Australia dalam membasmi hewan berkaki empat tersebut.
Sebagai umpan yang nantinya akan dimakan oleh kucing liar, pemerintah Australia akan melakukan pembasmian hewan tersebut dengan cara memberikan makanan berupa sosis yang terbuat dari daging kangguru, namun sudah dibumbui rempah-rempah lemak ayam.
Akan tetapi, makanan tersebut mengandung satu bahan kimia yang mematikan yaitu sodium fluoroacetate. Alasannya menggunakan bahan kimia beracun itu karena senyawa yang digunakan memang ampuh untuk membunuh kucing dan hewan karnivora lainnya.
Sedangkan dalam penggunaan racun sodium fluoroacetate pada kucing liar tersebut tidak akan menimbulkan bahaya bagi spesies asli Australia, karena hewan spesies asli negara itu sudah memiliki daya tahan pada racun.
Meskipun pemerintah Australia hendak melakukan pembasmian kucing liar menggunakan racun, akan tetapi tindakan tersebut ditolak beberapa warga dan sudah ditandatangani lebih dari 160.000 orang. Dan tindakan penolakan itu juga sudah diinisiasi semenjak tahun 2015.
Lalu apa yang terjadi jika pembasmian kucing liar tersebut benar-benar direalisasikan? Apakah hewan spesies Australia nantinya benar-benar tidak akan terjadi kepunahan?
Untuk hal itu kita akan kembali ke sejarah. Tepatnya kisah dahulu saat terjadinya virus Black Death terjadi di Eropa.
Dahulu, saat di abad ke-13 sampai 14, terdapat seorang paus dari Eropa dengan nama Gregorius IX. Dan saat itu, ia memberikan suatu pernyataan yaitu menganggap kucing merupakan jelmaan iblis, terutama adalah kucing hitam yang dianggapnya bisa membawa nasib buruk jika tidak dimusnahkan.
Karena masyarakat percaya dengan pernyataan sang Paus, maka banyak para warga yang mulai membasmi kucing. Selain itu, bahkan tidak diketahui jumlah kucing yang dibasmi oleh para warga.
Selanjutnya, dengan dibasminya kucing yang dianggap jelmaan seten tersebut, awalnya para warga merasa tenang karena sudah tidak ada kucing yang berkeliaran.
Namun selang waktu berjalan, orang-orang mulai terkena suatu penyakit aneh, dimana orang-orang yang terkena penyakit itu kulitnya akan berubah menjadi hitam. Hingga akhirnya semakin banyak orang yang ikut terjangkit, dan kala itu disebut Great Plague.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penyakit tersebut muncul dari bakteri Yersinia Pestis, dimana bakteri tersebut berasal dari hewan-hewan pengerat seperti tikus atau pun dari kutu. Mungkin orang jaman sekarang lebih mengenal penyakit itu dengan nama Black Death.
Sebagai informasi tambahan, satu ekor tikus betina hanya membutuhkan waktu satu tahun untuk bisa melahirkan ribuan ekor tikus. Sedangkan predator alami bagi tikus sendiri adalah kucing.
Dengan dibasminya kucing secara besar-besaran, maka populasi tikus akan merajalela dan siklus kelahiran dan kematiannya tidak terkendali. Sehingga itu Black Death pada jaman dahulu menjadi terus menyebar ke berbagai wilayah.
Adapun penyebarannya di abad ke-13 dan ke-14, para pedagang dan orang-orang yang ketakutan akan penyakit itu menjadi bermigrasi ke wilayah lain.
Selain itu, tercatat hingga saat ini jika Black Death merupakan wabah terburuk yang pernah ada di dunia, bahkan sudah membunuh lebih dari jumlah satu pertiga bangsa Eropa.***