

inNalar.com – Hari Kartini 21 April 2022 selalu diperingati setiap tahunnya, walaupun disebut dengan salah satu nama sebenarnya tidak berarti melupakan tokoh wanita lain yang juga berjasa kepada bangsa.
Banyak perempuan di Indonesia baik yang terdaftar sebagai Pahlawan Nasional maupun bukan, salah satunya yaitu Nyai Ahmad Dahlan dari DI Yogyakarta yang mana perjuangannya sama dengan RA Kartini.
Sama-sama berjuang dalam emansipasi wanita atau kesetaraan derajat untuk menuntut ilmu atau belajar dengan kaum lelaki membuat kisah Nyai Ahmad Dahlan sangat cocok dibaca pada hari Kartini 21 April 2022.
Baca Juga: LINK Twibbon Hari Kartini 2022 yang Diperingati pada Kamis 21 April 2022, Disertai Cara Membuatnya
Nyai Ahmad Dahlan sebenarnya bernama asli Siti Walidah, wanita kelahiran Yogyakarta 3 Januari 1872 ini merupakan istri dari Ahmad Dahlan pendiri dari organisasi besar Muhammadiyah, bersama sang suami itulah dirinya memperjuangkan hak wanita.
Dikutip inNalar.com dari artikel Pedoman Tangerang berjudul “Kisah Siti Walidah, Nyai Ahmad Dahlan, Perempuan Berperan Penting dalam Pendidikan Indonesia“ pada Rabu, 20 April 2022 dirinya memperjuangkan pendidikan agama dan umum untuk wanita dan masyarakat.
Pada 1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Islam bernama Muhammadiyah. Melalui organisasinya ini, Ahmad Dahlan tidak hanya fokus memberikan pendidikan untuk laki-laki. Ia bersama sang istri juga ingin memajukan pendidikan kaum perempuan.
Dua tahun setelah Muhammadiyah berdiri, mereka mendirikan Sopo Tresno. Sopo Tresno merupakan kelompok diskusi perempuan untuk mendalami ayat Al-Quran, khususnya ayat-ayat tentang perempuan. Selain itu, kelompok ini juga menjadi wadah bagi para perempuan untuk belajar menulis, membaca, dan berbagai ilmu pengetahuan.
Siti Walidah mendirikan Sopo Tresno dengan tujuan untuk mencerdaskan kaum ibu-ibu. Ia ingin para ibu tidak hanya pintar soal agama, tetapi juga pandai berhubungan dengan manusia lain dan lingkungan sekitar.
Sopo Tresno mendapat sambutan positif dari masyarakat. Seiring waktu, anggota Sopo Tresno kian bertambah banyak. Nyai Ahmad Dahlan dan suami akhirnya memutuskan untuk membuat perkumpulan ini menjadi lebih bagus dan berkembang.
Pada 22 April 1917, nama perkumpulan tersebut resmi diubah menjadi Aisyiah. Nama Aisyiyah merujuk pada nama istri Nabi Muhammad SAW, yaitu Aisyiah binti Abu Bakar. Siti Walidah pun resmi ditunjuk menjadi Ketua Aisyiyah.
Lima tahun kemudian, Aisyiyah secara organisasi resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah. Sekolah-sekolah di bawah naungan Aisyiyah pun mulai didirikan. Misalnya, sekolah taman kanak-kanak pertama di Indonesia bernama Froebel dan sekolah dasar untuk perempuan dengan nama Volkschool.
Selain mendirikan sekolah, Aisyiyah juga banyak mengadakan kegiatan yang mendukung kemajuan perempuan. Salah satunya, Aisyiyah membuat program pemberantasan buta huruf pertama di Indonesia, baik huruf Arab maupun latin. Selain itu, Aisyiyah juga menjadi pelopor Kongres Wanita Pertama di Indonesia. Tak hanya itu, organisasi ini juga aktif meningkatkan pengetahuan dan mendorong partisipasi perempuan dalam ranah publik.
Nyai Ahmad Dahlan pun semakin semangat memperjuangkan emansipasi wanita. Ia tidak setuju dengan konsep patriarki yang menilai seorang istri hanyalah mitra bagi suaminya. Selain itu, Siti juga menentang praktik kawin paksa.
Ketika Ahmad Dahlan wafat pada 1923, Siti tetap semangat meneruskan perjuangan suaminya di bidang pendidikan. Dirinya pun menggantikan suaminya menjadi pemimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Menjadikannya perempuan pertama yang memimpin pertemuan sebesar itu.
Baca Juga: Apa Maksud Ungkapan RA Kartini Habis Gelap Terbitlah Terang? Simak Penjelasannya Lengkap Berikut Ini
Berjuang melawan Jepang dan Belanda
Seiring Muhammadiyah yang semakin berpengaruh dalam pergerakan nasional, Aisyiyah turut berkembang semakin besar. Anggotanya semakin banyak dan cabang-cabangnya di berbagai daerah di Indonesia juga kian bertambah. Nyai Ahmad Dahlan terus memimpin Aisyiyah hingga 1934.
Namun, pada 1943, keberadaan Aisyiyah dilarang oleh pemerintahan militer Jepang. Walaupun begitu, semangat Siti untuk memperjuangkan pendidikan perempuan Indonesia tak surut. Ia terjun langsung memberikan pendidikan bagi anak-anak Indonesia dengan bekerja di sekolah-sekolah bentukan Jepang.
Nyai Ahmad Dahlan juga tak segan menentang sejumlah ritual yang dipaksakan oleh pasukan Jepang kepada rakyat Indonesia. Contohnya, menyanyikan lagu kebangsaan Jepang serta hormat ke arah matahari dan bendera Jepang.
Baca Juga: Profil Maria Walanda Maramis, Kartini dari Minahasa, Sosok Pahlawan Wanita dari Sulawesi Utara
Pada saat Indonesia sudah merdeka dan Belanda kembali untuk menguasai lagi negeri ini, Siti tetap ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Dirinya banyak dimintai nasehat oleh para tokoh bangsa, termasuk Presiden Soekarno. Selain itu, Siti juga mengajak para mantan muridnya untuk membantu para pejuang mempertahankan kemerdekaan.
Di tengah suasana perang, Nyai Ahmad Dahlan membuka pintu rumahnya untuk menjadi tempat berlindung para tentara dan rakyat Indonesia yang ikut berperang. Bahkan, ia menyiapkan masakan untuk para pejuang tersebut.
Pada 31 Mei 1946, Siti Walidah meninggal dunia. Ia dimakamkan di belakang Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta. Nyai Ahmad Dahlan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soeharto melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 42/TK Tahun 1971.(Putri Lestari – Anggota Perempuan Indonesia Satu).***
(Ahmad Rafid Fadli Mukhtar/Pedoman Tangerang)