

inNalar.com – Konflik antara Rusia dan Ukraina diperkirakan akan menjadi ancaman paling serius semenjak rangkaian panjang Perang Dingin pada 1945 hingga 1991.
Apabila Presiden Putin melancarkan invasinya ke Ukraina secara terus menerus, ketegangan ini akan menjadi puncak krisis Barat menyangkut Ukraina.
Krisis Ukraina bermula ketika muncul perbedaan pandangan sosial politik di negara tersebut, hal itu merupakan bibit dinamika baru dalam kawasan Eropa.
Baca Juga: Mengenal Profil Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden dengan Jabatan Terlama Kedua di Eropa
Salah satu perbedaan pandangan itu adalah respon masyarakat Krimea yang ingin memisahkan diri dari Ukraina sebagai pemilik yang sah. Krimea menginginkan bergabung dengan Rusia.
Krisis yang mulai memanas itu dipantik lagi dengan peristiwa pada November 2013. Pada saat itu, Presiden Ukraina Victor Yanukovich menolak penandatanganan perjanjian kerjasama perdagangan bebas dengan Uni Eropa.
Yanukovich justru memilih untuk menerima bantuan dari Rusia dalam bentuk pinjaman sebesar lima belas miliar dollar AS dan potongan harga gas dari Rusia untuk Ukraina sebesar 30 persen.
Keputusan yang diambil tersebut otomatis menuai protes dari rakyat Ukraina yang beraliran pro Barat. Protes meletus di Kiev hingga awal tahun 2014.
Baca Juga: Ini Alasan Mengapa Vladimir Putin Menjadi Presiden Seumur Hidup Rusia
Perpecahan sosial politik yang terjadi di Ukraina ini melibatkan beberapa penengah, antara lain Menlu Perancis, Jerman dan Polandia.
Setelah dibulatkan kesepakatan pembagian kekuasaan Ukraina pada 21 Februari 2014, konflik justru makin berkobar ketika Yanukovich menghilangkan jejaknya dari Kiev.
Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa Yanukovich secara khusus meminta bantuan militer Rusia untuk mengamankan Krimea atas Intervensi Presiden Putin.
Warga sipil semakin marah setelah tahu keterlibatan Rusia dalam konflik itu.
Kemudian pada Maret 2014, Republik Otoritas Krimea memutuskan untuk mengumandangkan kemerdekaannya dengan bantuan Rusia. Melalui Referendum, Krimea bergabung dengan Rusia.
Masalah ini berbuntut panjang ketika Ukraina melaporkan ikut campur tangan Rusia dalam masalah perbatasan tersebut ke PBB.
Lewat Resolusi Dewan Keamanan PBB, diadakanlah voting dengan 3 negara memiliki hak veto, yakni Amerika, Inggris dan Perancis.
Ketiga negeara pemegang hak veto ini tidak setuju jika Krimea bergabung dengan Rusia. Sedangkan Rusia juga menggunakan hak veto nya dengan alasan bahwa rakyat Krimea yang menginginkan sendiri untuk menjadi bagian Rusia.
Upaya Rusia untuk mendapat dukungan dari negara yang memiliki hak veto tersebut gagal. Berdasar hasil voting itu sekjen PBB Ban Ki-Moon mengimbau warga dunia untuk mengecam keputusan Rusia tersebut.***