
inNalar.com – Malam 1 Suro bukan hanya momen peralihan tahun dalam kalender Jawa, tapi juga bermakna kedalaman spiritual bagi umat Islam, khususnya masyarakat Jawa.
Dalam Islam, malam satu Suro sejatinya bertepatan dengan 1 Muharram yang menjadi penanda Tahun Baru Hijriah. Hal ini juga mengingatkan peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.
Artinya, arti malam satu Suro bagi umat Islam tidak sekadar seremoni, tapi juga refleksi atas perjalanan dan perjuangan membangun peradaban.
Biasanya, masyarakat Jawa, khususnya yang tinggal di Jawa Timur menjalani malam 1 Suro dengan doa-doa dan tapa bisu.
Berdasarkan kalender resmi dari Bank Indonesia Tahun 2025 dan penanggalan Hijriah yang dirilis Kementerian Agama RI, malam 1 Suro 2025 jatuh pada hari Kamis malam Jumat, tanggal 26 Juni 2025, dan bertepatan dengan 1 Muharram 1447 H.
Hari 1 Suro sendiri dimulai sejak matahari terbenam pada malam tersebut hingga petang keesokan harinya, yakni Jumat, 27 Juni 2025.
Maka, jika Anda bertanya malam 1 Suro 2025 jatuh pada tanggal berapa, jawabannya adalah Kamis malam, 26 Juni 2025, yang merupakan malam Jumat Kliwon dalam sistem penanggalan Jawa.
Meski dikenal sebagai awal tahun baru kalender Jawa, malam 1 Suro tidak dirayakan dengan pesta atau kemeriahan.
Sebaliknya, masyarakat Jawa memaknainya sebagai malam sakral yang dipenuhi nuansa spiritual. Dalam Jurnal Kajian Budaya, Bahasa dan Sastra (Vol. 03, No. 04, 2023), dijelaskan bahwa terdapat sejumlah larangan malam satu Suro yang hingga kini masih dijaga oleh masyarakat, khususnya di Surakarta dan Yogyakarta.
Salah satunya adalah larangan menggelar hajatan besar seperti pernikahan. Bulan Suro diyakini bukan waktu yang tepat untuk bersukacita, melainkan momen untuk menyepi, berdoa, dan melakukan refleksi diri. Oleh karena itu, menyelenggarakan perayaan besar dianggap tidak etis dengan makna bulan ini.
Beberapa larangan malam 1 Suro lainnya termasuk menghindari pertengkaran, tidak melakukan perjalanan jauh, menjauhi hal-hal duniawi secara berlebihan, serta tidak keluar malam kecuali untuk kepentingan spiritual seperti ziarah.
Bahkan ada pula kepercayaan untuk tidak membangun atau pindah rumah selama malam satu Suro karena dianggap bisa mendatangkan kesialan.
Larangan berbicara keras, berkata kasar, atau bersikap ceroboh juga ditekankan karena dipercaya bisa mengundang gangguan dari makhluk ghaib. Semua ini bukan sekadar mitos, melainkan bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai leluhur dan keseimbangan batin.
Di sisi lain, masyarakat Jawa tetap merawat tradisi malam 1 Suro sebagai bagian dari warisan budaya. Salah satu yang paling dikenal adalah Tapa Bisu Mubeng Beteng, prosesi keliling benteng Keraton Yogyakarta dalam keheningan tanpa berbicara sepatah kata pun.
Tradisi ini mencerminkan upaya membersihkan batin, sekaligus bentuk penghormatan terhadap nilai spiritual Jawa. Selain itu, ada juga Grebeg Suro, kirab pusaka Keraton yang disertai pembagian makanan dan sedekah kepada rakyat.
Di Surakarta, Jenang Suran menjadi tradisi khas, di mana masyarakat memasak jenang merah putih sebagai simbol keseimbangan antara keberanian dan kesucian.
Semua prosesi ini memperkuat keyakinan bahwa malam 1 Suro adalah waktu yang penuh berkah, bukan untuk dirayakan dengan pesta, melainkan untuk menyatu dengan alam dan Sang Pencipta.