

InNalar.com – Indonesia merupakan negara yang memiliki cadangan emas terbanyak nomor 1 di dunia, salah satunya di Papua Tengah.
Adapun tambang tersebut dikelola oleh PT. Freeport Indonesia, dan berada di daerah Mimika, provinsi Papua Tengah.
Berdasarkan kesuksesannya dalam mengelola tambang, hasil dari tambang Papua Tengah adalah memunculkan kota emas, Tembagapura.
Kota emas atau Tembagapura ini sendiri sebelumnya pernah diresmikan oleh presiden ke-2 Indonesia, yaitu Soeharto pada tahun 1973.
Meskipun begitu, ternyata sebelum memiliki tambang emas terbesar di dunia tersebut, terdapat Suku Amungme yang harus terusir dari Papua Tengah.
Pada awalnya sebelum dilakukan pertambangan, Suku Amungme menyambut orang-orang yang ingin berkunjung dengan etiket baik ke pegunungan di daerah mereka.
Perlu diperhatikan, dari kepercayaan masyarakat Amungme Papua Tengah, pegunungan-pegunungan di daerah itu dipercaya merupakan tempat peristirahatan bagi arwah leluhur yang dikeramatkan.
Sekedar informasi, pertambangan yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia ini sebenarnya dilakukan di daerah pegunungan yang tingginya sekitar 2000 MDPL.
Dilansir InNalar.com dari p2k stekom, penolakan mulai terjadi pada masyarakat Amungme Papua Tengah ketika mengetahui jika akan dilakukan pertambangan di daerah mereka sekitar tahun 1960.
Penolakan itu mereka lakukan dengan cara memasang palang-palang larangan agar tidak ada yang memperbolehkan melakukan pertambangan.
Walaupun akhirnya masyarakat Amungme tetap tidak berdaya, sebab alat berat PT. Freeport Indonesia dan dukungan militer terus maju di Papua Tengah.
Berdasarkan kisah pengusiran dari Papua Tengah seperti itulah sehingga saat ini Indonesia memiliki tambang emas terbesar di dunia, sekaligus tambang tembaga terbesar ke-3 di dunia yang berada di daerah Mimika.
Akan tetapi, walau kisah ini sudah berlalu lebih dari 50 tahun, namun sebenarnya para masyarakat suku Amungme tetap tidak menyerah untuk mendapat keadilan.
Pasalnya, sekitar pada tahun 2010, suku Amungme pernah mengajukan gugatan ke pengadilan negeri Jakarta Selatan.
Gugatan perdata tersebut berkaitan dengan pengambilan PT. Freeport Indonesia pada tanah adat mereka yang luasnya mencapai 2 juta hektar.
Walaupun akhirnya pengajuan gugatan ini harus gagal, karena PT. Freeport Indonesia ini memiliki kepenguasaan dari sisi hukum.
Sebelum ini, pada tahun 2009 pernah pula ada gugatan serupa pada PT. Freeport Indonesia yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah Papua Tengah.
Meski begitu, gugatan yang mereka ajukan ini tetaplah gagal, dan tidak ada proses lebih lanjut.
Selain itu, mereka masih kurang bukti, bahkan jika ada bukti, suku Amungme juga tidak memiliki status jelas yang berkaitan dengan tempat tinggal di daerah sana.***