Lika-liku Hidup Soeharto: Dikenal Sebagai Orang Kepercayaan hingga Jadi Penjarah Senjata Tentara Jepang

inNalar.com – Perjalanan hidup dari Presiden kedua RI, yakni Presiden Soeharto, ini memang sangat panjang.

Hidup di masa penjajahan, dapat dikatakan bahwa Soeharto sudah melewati pahit manisnya kehidupan.

Terlahir di keluarga miskin, Soeharto harus berjuang setiap hari untuk dapat bertahan hidup. Beliau bahkan juga pernah bekerja di bank desa sebelum akhirnya masuk ke dunia militer.

Baca Juga: Proyek Jembatan Rp2,14 Miliar di Takalar Sulawesi Selatan Pembangunannya Butuh Monitoring Ketat, Kenapa?

Kehidupan Soeharto sebelum bergabung ke militer adalah sama dengan rakyat biasa lainnya. Beliau bahkan tidak memiliki pemikiran untuk bergabung ke bidang pekerjaan tersebut saat masih muda.

Namun, karena imbas dari Perang Dunia II yang saat itu juga dapat dirasakan sampai Indonesia, Soeharto muda memutuskan untuk masuk ke militer.

Pada saat itu, kemiliteran terlihat sebagai pekerjaan yang tampak lebih bersinar daripada pekerjaan lainnya.

Baca Juga: Menjadi Istri Presiden Soeharto, Siti Hartinah Tidak Pernah Mengeluh Akan Nasibnya, Pernah Menjual Batik?

Dilansir inNalar.com dari buku Biografi daripada Soeharto, Soeharto mengawali langkahnya dengan mendaftar di KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) sebagai pasukan Angkatan Laut Belanda.

Kemudian, pada 1 Juni 1940, Soeharto memulai latihan militernya di Gombong yang letaknya ada di sebelah barat Kota Yogyakarta.

Pagi, siang, hingga malam beliau habiskan untuk berlatih. Sampai pada akhirnya, Soeharto lulus dengan predikat terbaik yang kemudian ditempatkan di Batalion XIII di Rempal.

Baca Juga: Rampung Tahun 2023, Smelter Baru di Maluku Utara Kapasitasnya 40.500 TNi, saat Ini dalam Tahap…

Namun, langkahnya tidak berhenti disana. Setelah mengalami sakit malaria, Soeharto muda memutuskan untuk mengambil ujian dan masuk Kader School untuk mendapatkan pangkat sersan.

Setelah mendapatkan pangkat sersan, beliau pun dikirim ke Cisarua, Bandung oleh Belanda sebagai pasukan cadangan di markas Angkatan Darat.

Akan tetapi, seminggu setelah itu, Belanda menyerah kepada Jepang.

Karena kejadian ini, Soeharto melepas seragam tentaranya dan pulang ke rumah sahabatnya, Amat Sudono.

Setelah menanggalkan seragamnya ini, kehidupan Soeharto semakin susah. Pada zaman penjajahan Belanda, makanan semakin sulit untuk didapat. Selain itu, dirinya juga tidak kunjung mendapat pekerjaan baru.

Beberapa waktu kemudian, secara tidak sengaja dirinya mendengar adanya rekruitmen anggota baru Keibuho.

Meski ragu, Soeharto memutuskan untuk mendaftar dan akhirnya menjadi lulusan terbaik, sama seperti saat dia ujian di KNIL.

Atas saran dari Kepala Polisi Jepang, dirinya akhirnya mendaftar ke PETA atau Pembela Tanah Air.

Karir Soeharto di PETA terbilang cukup bagus. Terbantu dengan pengalamannya bekerja di KNIL, Soeharto terpilih untuk mengikuti latihan Shodancho (komandan peleton) dan beberapa waktu kemudian, Chu-dancho (komandan kompi).

Tugas Soeharto sebagai Chu-dancho ini adalah untuk melatih para calon Bundancho (komandan regu) di tempat yang terpencil.

Tanggung jawab yang dibebankan pada Soeharto ini menunjukkan jika Jepang menaruh rasa kepercayaan yang besar di pundaknya.

Akan tetapi, pada saat Indonesia merdeka, Jepang memerintahkan kepada Seoharto untuk membubarkan pasukannya. Tidak hanya itu, pihak Jepang juga memintanya mengembalikan senjata serta mobil dinas yang dia pakai.

Soeharto yang saat itu masih kebingungan, menuruti semua perkataan Jepang dan memutuskan untuk pulang ke rumah dinasnya di Madian.

Disana dia baru mengerti alasan dibalik Jepang melakukan hal tersebut. Ternyata Indonesia sudah merdeka dan Jepang telah kalah.

Titik inilah yang membuka babak baru di kehidupan Soeharto. Dia yang sebelumnya menjadi salah satu orang kepercayaan Jepang, berbalik untuk melawan.

Pada awal kemerdekaan Indonesia, Soeharto bergabung ke BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan memimpin kelompok untuk melucuti persenjataan tentara Jepang.

Hal tersebut dilakukan karena BKR saat itu sangat kekurangan senjata dengan anggota yang terus bertambah.

Tidak hanya milik tentara, Soeharto bahkan juga memimpin pasukan TKR (nama baru BKR) untuk merebut persenjataan dari asrama Jepang di Kotabaru pada 7 Oktober 1945.

Penyerangan yang dilakukan secara tiba-tiba ini berakhir di kemenangan TKR yang dipimpin oleh Soeharto.***

Rekomendasi