Leher Panjang Menjadi Simbol Kecantikan Suku di Thailand Ini, Simak Tradisinya

inNalar.com – Di kawasan utara Thailand, terdapat kepercayaan yang unik di kalangan perempuan Suku Karen mengenai kecantikan. Semakin panjang leher seorang wanita, semakin menarik ia dianggap di mata pria.

Tradisi ini menjadikan Suku Karen, yang juga dikenal sebagai Suku Leher Panjang, terkenal di seluruh dunia.

Suku Karen adalah kelompok etnis yang populasi mereka tersebar di wilayah Thailand dan Myanmar. Mereka memiliki beragam kebiasaan yang mencerminkan identitas budaya mereka.

Baca Juga: 4 Lokasi Wisata Bali yang Pernah Menjadi Tempat Syuting Idol Kpop! Cocok Menjadi List Liburan Untuk Akhir Tahun

Salah satu tradisi paling menarik dari Suku Karen adalah praktik memanjangkan leher.

Leher panjang mereka tidak terjadi secara alami sejak lahir, tetapi merupakan hasil dari upaya mereka untuk memperpanjang leher sebagai ciri khas budaya.

Memanjangkan leher adalah cara mereka untuk menunjukkan kecantikan dan identitas diri.

Baca Juga: Suku Korowai, Penghuni Rumah Pohon di Belantara Papua yang Hidup Berdampingan dengan Alam

Tradisi ini dijalankan oleh Suku Karen Padaung, yang mayoritas berada di bagian utara Myanmar dan Thailand.

Proses memanjangkan leher dimulai sejak usia dini. Pemasangan ini dilakukan dengan menumpuk cincin kuningan pada leher mereka.

Seiring bertambahnya usia, jumlah cincin tersebut pun semakin meningkat.

Baca Juga: Eksplorasi Lubang Goa Misterius di Jawa Timur: Jejak Sejarah Majapahit yang Tersembunyi

Cincin kuningan ini umumnya tidak dilepas, kecuali dalam momen-momen tertentu, seperti saat menikah, melahirkan, atau ketika mereka meninggal.

Tradisi ini dikenal di dunia dengan nama “neck ring”.

Konon, pada awalnya, tradisi ini muncul sebagai langkah perlindungan dari harimau.

Di masa lalu, beberapa wanita suku Karen menjadi korban terkaman harimau, sehingga pemimpin suku memutuskan untuk meminta mereka mengenakan cincin leher kuningan sebagai langkah untuk melindungi diri.

Ada pula teori lain yang menyebutkan bahwa tujuan dari tradisi ini adalah untuk mengurangi risiko penculikan oleh pria dari suku lain.

Dengan menumpuk cincin di leher, kecantikan mereka dianggap berkurang, sehingga mengurangi kemungkinan mereka diculik untuk dijadikan budak.

Seiring berjalannya waktu, tradisi ini berkembang dan menjadi tolok ukur kecantikan di kalangan perempuan Suku Karen.

Mereka biasanya mulai mengenakan cincin dari usia 5 atau 6 tahun. Dimulai dengan menggunakan lima cincin, kemudian akan ditambahkan dua cincin baru setiap tahunnya.

Meskipun tampak menawan, cincin yang berat ini berfungsi seperti “tandu” bagi leher mereka, dan seiring berjalannya waktu, cincin ini dapat merusak tulang rusuk dan bahu. Karena hal inilah terdapat ilusi leher menjadi panjang.

Tidak ada batasan pasti mengenai jumlah maksimum cincin yang dapat mereka kenakan, tetapi biasanya mereka bisa mencapai sekitar 25 cincin.

Saat mencapai usia 15 tahun, perempuan suku Karen diberikan pilihan untuk melanjutkan tradisi ini seumur hidup atau berhenti.

Ini penting, karena setelah usia tersebut, tulang rusuk mereka berisiko mengalami kerusakan akibat beban cincin yang berat.

Dewasa ini, tidak semua wanita diwajibkan untuk memakai cincin leher. Hanya anak perempuan yang lahir pada waktu tertentu yang dipilih untuk meneruskan tradisi ini.

Bahkan di era saat ini juga, bagi perempuan Suku Karen di Thailand, keputusan untuk menerapkan tradisi leher panjang ini bukan hanya soal meneruskan tradisi, tetapi juga membuka peluang ekonomi.

Pasalnya, mereka sering kali menarik perhatian wisatawan, dan tradisi ini kini menjadi sumber pendapatan yang menggiurkan.

Dengan peradaban yang semakin maju ini, tradisi memanjangkan leher di Suku Karen menjadi sebuah simbol yang tidak hanya mencerminkan kecantikan, tetapi juga perjuangan dan adaptasi budaya di era modern.*** (Aliya Farras Prastina)

 

Rekomendasi