

inNalar.com – Pulau Kabaena, yang terletak di Sulawesi Tenggara, kini menghadapi ancaman serius akibat eksploitasi tambang nikel.
Ekspansi tambang ini terkait dengan lonjakan permintaan global untuk kendaraan listrik yang membutuhkan nikel sebagai bahan baku utama.
Namun, di balik kemajuan teknologi hijau, ada kisah pilu tentang kehancuran lingkungan dan masyarakat tradisional yang menggantungkan hidupnya pada alam.
Dampak dari aktivitas tambang nikel di Kabaena sangat destruktif, terutama pada ekosistem laut yang menjadi sumber kehidupan bagi Suku Bajau.
Air laut yang dulunya jernih kini berubah keruh karena pencemaran limbah tambang. Padahal, Suku Bajau telah hidup ratusan tahun di kawasan ini, mengandalkan laut sebagai tempat mencari nafkah.
Dengan kondisi laut yang tercemar, mereka terancam kehilangan sumber penghidupan utama mereka.
Baca Juga: Inilah 5 Lumbung Padi Terbesar di Kalimantan Timur, Daerah Penghasil Terkaya Letaknya 1 Jam dari IKN
Bukan hanya laut yang terancam, tapi juga daratan Kabaena.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat bahwa sekitar 650 km² wilayah Kabaena, atau sekitar 73 persen dari total luas pulau yang mencapai 892 km², telah diserahkan kepada pengusaha tambang.
Ini terjadi setelah pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK-465/Menhut-II/2011, yang secara drastis mengubah status Pulau Kabaena, mengizinkan eksploitasi tambang di wilayah yang sebelumnya merupakan hutan lindung.
Akibatnya, Suku Moronene, masyarakat asli Kabaena yang sebelumnya mengandalkan perkebunan kacang mete dan kopi sebagai sumber penghidupan, kini kehilangan tanah mereka.
Lahan perkebunan telah beralih fungsi menjadi area pertambangan nikel, memaksa mereka untuk mencari cara lain untuk bertahan hidup.
Tak hanya lingkungan yang rusak, dampak kesehatan juga dirasakan oleh penduduk setempat.
Pencemaran udara dan air akibat aktivitas tambang menyebabkan peningkatan kasus penyakit pernapasan dan kulit di kalangan masyarakat.
Selain itu, hilangnya sumber daya alam tradisional mengancam kelangsungan hidup budaya dan tradisi suku-suku di Kabaena, yang telah bertahan selama berabad-abad.
Eksploitasi tambang di Kabaena, yang digerakkan oleh permintaan global akan nikel, mengabaikan dampak destruktif terhadap masyarakat lokal.
Para pengusaha tambang yang mengantongi izin pemerintah tampaknya lebih mengutamakan keuntungan finansial daripada keberlanjutan lingkungan dan masyarakat.
Pulau yang dulu damai dan hijau kini tengah berubah menjadi zona konflik antara industrialisasi dan kelangsungan hidup masyarakat adat.
Situasi di Kabaena menjadi gambaran nyata dari tantangan yang dihadapi oleh komunitas lokal di tengah arus globalisasi.
Baca Juga: Kisah Inspiratif! Rugi Bisnis, Pria Asal Blitar Ini Sukses Jadi Peternak Hasil Restu Ibu
Suku Bajau dan Moronene, yang telah hidup harmonis dengan alam selama ratusan tahun, kini berada di persimpangan yang menentukan masa depan mereka.
Ancaman ini lebih dari sekadar ‘hilangnya sumber daya alam’, namun ini adalah ancaman terhadap eksistensi mereka sebagai masyarakat adat.***