

inNalar.com – Pembangunan pada dasarnya membawa manfaat bagi masyarakat sekitar. Namun dalam pembangunan bendungan Lau Simeme justru rugikan 200 kk.
Pembangunan Bendungan Lau Simeme di Kecamatan Sibiru-biru, Deli Serdang, Sumatera Utara, yang memakan biaya Rp1,65 triliun, menjadi sorotan publik.
Waduk di Sumatera Utara yang digadang-gadang akan memberikan berbagai manfaat strategis seperti penyediaan air baku dan sekitarnya, irigasi, pengendalian banjir, hingga pembangkit listrik ini ternyata menyisakan persoalan serius terkait ganti rugi lahan bagi warga terdampak.
Setidaknya 200 Kepala Keluarga (KK) di lima desa merasa dirugikan akibat pembebasan lahan yang tidak berjalan sesuai harapan.
Warga dari Desa Sari Labah, Rumah Gerat, Kuala Dekah, Mardinding, dan Penen mengaku kehilangan lahan tanpa kompensasi yang layak.
Mereka menyatakan bahwa nilai ganti rugi lahan tidak dilakukan secara transparan sehingga harga tanah yang diterima warga berbeda-beda.
Situasi semakin panas ketika sejumlah warga mencoba menyampaikan keluhan kepada pihak berwenang.
Di Polrestabes Medan, warga yang melaporkan dugaan penganiayaan terkait penggusuran justru mengaku laporan mereka ditolak, sehingga memicu kemarahan.
Kondisi ini memperlihatkan adanya celah komunikasi antara masyarakat terdampak dan pemerintah.
Proyek besar ini, yang seharusnya membawa dampak positif, kini justru menimbulkan konflik bagi warga setempat dengan pemangku kepentingan.
Masalah ini tidak hanya berdampak pada kehidupan sehari-hari warga, tetapi juga memunculkan ketidakpercayaan terhadap proses pembangunan yang dianggap tidak berpihak pada masyarakat kecil.
Selain itu, kehadiran bendungan ini memaksa mereka meninggalkan tempat tinggal yang telah mereka huni selama bertahun-tahun.
Baca Juga: Progres Seret, Proyek Jalan Hotmix Rp7,7 Miliar di Halmahera Selatan Bikin Resah Warga Pulau Makian
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyatakan bahwa pembangunan ini sangat penting untuk mendukung kebutuhan air baku yang terus meningkat.
Proyek ini juga disebut sebagai langkah strategis dalam mengantisipasi banjir.
Namun, tanpa penyelesaian tuntas atas masalah ganti rugi lahan, manfaat proyek ini seakan tertutupi oleh derita warga terdampak.
Hingga saat ini, belum ada langkah konkrit yang mampu menjawab keresahan warga, meskipun pembangunan bendungan sudah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada Oktober 2024.
Sementara dari pihak PUPR beralasan proses ganti rugi lahan masih dalam proses dan akan siap bertanggungjawab.
Persoalan ini menunjukkan betapa pentingnya pendekatan humanis dalam setiap proyek pembangunan.
Mengabaikan hak-hak masyarakat setempat hanya akan menimbulkan konflik yang merugikan semua pihak.***(Muhammad Arif)