

inNalar.com – Smelter Bantaeng, merupakan salah satu proyek strategis nasional yang dicanangkan pemerintah pusat untuk pengolahan nikel di daerah Sulawesi Selatan.
Smelter yang dibangun di lahan seluas 3.000 hektar ini sekarang telah beroperasi.
Sumber pendanaan yang digunakan untuk pembangunan smelter Bantaeng tersebut tidak menggunakan dana APBN/APBD, melainkan dana dari swasta.
Baca Juga: Telkom Masuk Jajaran Forbes 2023 World’s Best Employer, Ungguli Ratusan Perusahaan Terkemuka Dunia
Investasi yang dilakukan oleh pihak swasta, terutama PT. Huadi Nickel-Alloy yang menjadi penanggung jawab smelter tersebut.
Dikutip dari keterangan Pemprov Sulsel, keterangan yang diberikan Plt Gubernur Sulawesi Selatan adalah dengan menarik tenaga kerja lokal dan memanfaatkan lingkungan sekitar.
“Komunikasi yang dibangun antara warga dan investor sangatlah penting. Hal itu bertujuan agar, masyarakat setempat dapat mendapatkan manfaat dengan adanya perusahaan tersebut,” ungkapnya.
Plt Gubernur juga menegaskan terkait adanya komunikasi sinergitas ini adalah guna menanggulangi apabila terdapat adanya isu lingkungan dan sosial terkait pendirian smelter tersebut.
Meskipun pada pelaksanaanya tidak mungkin tidak ada kerusakan lingkungan di setiap pendirian tambang/smelter nikel.
Baru-baru ini pada pertengahan tahun 2023 masyarakat Desa Papan Loe tengah mengeluhkan akibat dari pengoperasian smelter bantaeng tersebut.
Baca Juga: Andalkan Dana Otsus, Tingkat Petumbuhan Ekonomi Aceh Terendah di Pulau Sumatera: Cuma 4,21 Persen
Bagaimana tidak, pencemaran lingkungan akibat pemurnian nikel di smelter bantaeng menyebabkan kekeringan di beberapa sumur desa sekitar.
Bahkan, dalam riset yang dikumpulkan oleh LBH Makassar dan Trend Asia melaporkan dampak buruk kehadiran smelter bantaeng.
Dampak tersebut tidak hanya kekeringan air bagi warga setempat, namun polusi asap dan debu, serta bau yang menyengat berasal dari smelter bantaeng tersebut.
Bahkan dalam laporan yang sama, limbah pabrik telah dialirkan ke sungai-sungai setempat. Tepatnya sungai di dusun Kayu Loe, desa Papan Loe, Pajukukang.
Akibat dari limbah tersebut pihak yang paling dirugikan adalah para petani rumput laut, yang notabene menjadi mata pencaharian utama dalam keseharian.
Limbah smelter bantaeng yang dibuang ke sungai mengalir hingga ke laut dan mencemari air laut. Perubahan warna air menjadi coklat dan bau menyengat dari limbah tersebut berdampak terhadap tumbuhan dan biota laut.
Para petani rumput laut pun sering merasa kecewa akibat pembuangan limbah yang sembarangan tersebut, karena para petani juga merasakan gagal panen berkali-kali akibat insiden tersebut.
Meskipun pada tahun 2022 kemaren Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah memberikan sanksi administratif dengan nomor SK 5897/ MENLHK-PNLHK/PPSALHK/GKM.0/07/2022 pembuangan limbah oleh smelter bantaeng nyatanya masih dilakukan hingga saat ini.
Bahkan dalam beberapa waktu yang lalu, diketahui warga dan aktivis dari bantaeng menolak keras adanya pengoperasian lanjut dari smelter bantaeng ini. ***