Kampung Mati di Gunung Purba Wonogiri Hanya Didatangi Penghuninya Pas Siang, Ternyata Ada Sebabnya

inNalar.com – Di Gunung Purba, Wonogiri terdapat sebuah perkampungan yang dikenal sebagai kampung mati.

Alasan di balik julukan kampung mati tersebut tak lain karena banyak penghuninya yang memilih meninggalkan tempat tersebut.

Nama asli dari desa ini sebenarnya adalah Kopen, yang merupakan bagian dari Desa Bero, Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri.

Baca Juga: Ritual Adat Tumpeng Sewu, Tradisi Sakral yang Paling Dinanti Suku Osing di Banyuwangi

Tempat ini terletak di kawasan perbukitan gunung purba Gajah Mungkur di Wonogiri dengan ketinggian kurang lebih sekitar 600 meter di atas permukaan laut.

Meskipun sudah cukup lama tinggalkan oleh penduduknya, kampung mati ini masih memiliki akses jalan yang cukup mudah untuk dilalui selama tidak pada kondisi hujan.

Karena dengan kondisi geografis lereng gunung purba Wonogiri tersebut, membuat kawasan ini sangat rawan akan bencana longsor di kala hujan yang lebat melanda.

Baca Juga: Sudah Tahu? Ada Gerbang Jurassic World di Lembah Bumi Minangkabau Sumatera Barat Loh

Tingkat kerawanan yang begitu tinggi inilah yang melatar belakangi banyaknya masyarakat yang memilih untuk tidak lagi menetap di lokasi tersebut.

Kepindahan warga dari kampung mati ini berawal pada tahun 2007, yang di mana terjadi bencana tanah longsor yang sangat parah.

Bahkan bencana tersebut mengakibatkan beberapa korban jiwa dan kerusakan yang sangat signifikan terhadap infrastruktur.

Baca Juga: Bak Kembali ke Zaman Kerajaan, Belanja di Pasar Kuno Pacitan Ini Bikin Pengunjung Berasa Pindah Masa

Sehingga memaksa kurang lebih sekitar 50 kepala keluarga yang tinggal di kawasan tersebut direlokasikan ke tempat lain yang disebut Kopen Baru.

Yang akhirnya meninggalkan Kampung Kopen yang lama menjadi sebuah tempat yang kosong tanpa seorang-pun yang meninggali.

Meskipun sudah tidak ditinggali masih ada beberapa penduduk yang melakukan aktivitas di wilayah Kopen Lama.

Baca Juga: Ras Tercantik di Indonesia Bukan Chindo Apalagi Blasteran Arab, 77 Persen Pria Paling Suka Wanita dari Suku Ini

Beberapa warga kampung mati tersebut menjadikan rumah terdahulu mereka sebagai gudang untuk hasil panen atau alat pertanian mereka.

Meskipun sudah dipindahkan kondisi warga tidak terlalu banyak berubah malah sebaliknya terjadi penurunan jumlah penduduk.

Dengan jumlah kepala keluarga di desa pelosok Wonogiri yang hanya sekitar 20 KK saja, lansia dan janda menjadi penduduk mayoritasnya.

Baca Juga: Rekomendasi Makanan Khas Kampung Halaman Jokowi, Salah Satu Menunya Andalan Presiden ke-7 RI

Para penduduk mengandalkan pertanian dengan sistem tadah hujan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dalam sehari-hari.

Tanaman yang ditanam biasanya berupa sayuran seperti kangkung dan cabai, namun naas hasilnya sering kali tidak mencukupi kebutuhan mereka.

Tak hanya itu, meskipun sudah dipindahkan ke lokasi baru para penduduk masih dihantui oleh bencana tanah longsor.

Hal ini dikarenakan akses jalan yang digunakan masih satu jalur dengan kampung mati.

Sehingga apabila hujan lebat melanda wilayah tersebut akses jalan akan sangat sulit juga berisiko tinggi untuk dilalui. Membuat para warga sangat merasa kesulitan dalam berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari.

Meskipun ada beberapa toko kecil di kampung, persediaan barang sering kali terbatas dan harga bisa lebih tinggi karena aksesibilitas yang sulit.***

Rekomendasi