

inNalar.com – Upaya hilirisasi batu bara tampak tidak seindah industri nikel jika berkaca dari kepergian mitra utama, Air Products and Chemicals Inc dari dua proyek penting ini.
Perusahaan petrokimia Amerika Serikat (AS) ini tidak hanya hengkang dari Proyek Fasilitas Coal to Methanol di Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Adapun perusahaan yang terlibat dalam proyek ini meliputi PT Bakrie Capital Indonesia Group dan PT Itacha Resources.
Sekumpulan perusahaan tersebut sampai membentuk konsorsium PT Air Products East Kalimantan (PT APEK).
Rencana investasi untuk menggarap proyek ini pun diestimasikan memakan biaya sebesar Rp33 triliun.
Dengan harapan, pada kuartal IV 2024 nantinya, fasilitas Coal to Methanol dapat mulai beroperasi.
Lebih lanjut, target kapasitas produksi yang diharapkan pun sebesar 1,8 juta ton methanol per tahun.
Muara jangka panjang hilirisasi batu bara ini adalah Indonesia mampu menekan impor gas setidaknya US$ 7,6 miliar.
Penghematan devisa yang didapatkan nantinya bisa mencapai US$ 4,7 miliar selama jalannya masa produksi tersebut.
Memandang betapa penting dan besarnya manfaat proyek pembangunan fasilitas konversi batu bara menjadi methanol di Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Proyek hilirisasi batu bara ini pun akhirnya ditetapkan sebagai PSN melalui Perpres Nomor 109 Tahun 2016.
Namun apa daya, tantangan keekonomian proyek ini menjadi ganjalan utama bagi kemulusan proyek hilirisasi versi batu bara ini.
Pada akhirnya upaya strategis ini sempat menggantung usai mitra AS memilih pergi dari proyek kerja sama ini.
Hambatan keekonomian masih sulit untuk ditembus oleh setiap pihak untuk merealisasikan proyek ini.
Dari skema pendanaan dari perbankan atau lembaga keuangan internasional bakal sulit, mengingat batu bara adalah energi kotor yang bisa menyumbang emisi karbon.
Baca Juga: Prediksi Barcelona vs Villarreal di Liga Spanyol 2023-2024: Kans Blaugrana Teruskan Catatan Positif
Sehingga untuk realisasinya akan butuh biaya investasi yang besar didukung dengan kehandalan teknologi yang juga mahal.
Ditambah lagi proyek ini sifatnya jangka panjang, sehingga regulasi yang fiskal mau pun non fiskal butuh konsistensi tinggi.
Lantas, bagaimana akhir keputusan terkait kelanjutan proyek yang menggantung usai ditinggal perusahaan petrokimia AS ini?
Baca Juga: Dilirik Australia, Pembangunan Jembatan Rp15 Triliun di Sulawesi Tenggara Malah Molor, Mengapa?
Pada akhirnya, PT Bakrie Group mengajukan terminasi pada proyek ini dengan alasan hasil kajian studi menunjukkan bahwa belum ada titik temu keekonomian dalam program hilirisasi batu bara ini.
Dengan demikian, akhirnya terdapat tiga agenda nasional yang dicoret dari daftar PSN dengan salah satunya adalah Proyek Fasilitas Coal to Methanol di Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Adapun kedua PSN lainnya yang ikut dicoret ada Proyek pembangunan Pelabuhan Internasional Hub Bitung dan dermaga baru di Ambon.
Meski begitu, usai kepergian mitra AS, Plh Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Muhammad Idris Froyoto Sihite mengungkap bahwa terdapat sejumlah investor China yang disebut tertarik untuk menggantikan kekosongan posisi.
Perlu diketahui, Air Products and Chemicals Inc juga menarik komitmen investasinya dari Proyek Dimethyl Ether (DME) yang menggaet PT Bukit Asam (PTBA).
Selain kedua proyek ini, upaya hilirisasi batu bara juga dilakukan di Aceh dengan menggandeng mitra dari China National Chemical Engineering Corporation.***