

inNalar.com – Kabupaten Banyumas di Jawa Tengah (Jateng) mempunyai banyak bentuk kesenian lokal yang unik.
Beberapa kesenian tersebut sudah jarang dipraktikkan saat ini sehingga mungkin terkesan asing di telinga masyarakat.
Namun keberadaan kesenian ini masih bertahan hingga saat ini, khususnya di pinggiran Banyumaas seperti Tambak, Kebasen dan Wangon.
Berikut beberapa kesenian asli dan unik yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah.
1. Pakeongan
Pakeongan merupakan salah satu kesenian Banyumas yang digunakan dalam ritual menurunkan hujan, kesenian ini menggunakan peralatan dapur.
Konon bermula dari kaum perempuan atau perempuan rakyat, terutama perempuan petani, karena suaminya sangat khawatir, karena sudah berbulan-bulan tidak turun hujan.
Barang-barang yang digunakan untuk melakukan ritual ini antara lain keranjang atau cething atau mangkok berisi nasi, beruk dari batok kelapa, benggol (uang logam) dan wingka (pecahan piring porselen), berjumlah 39 buah.
Di Pakeongong ada 4 pemain yang terdiri dari 1 orang dalang dan 3 orang pembawa keranjang, biasanya diperankan oleh seorang wanita berusia 60an tahun.
Ritual ini diiringi dengan mantera berupa nyanyian berisi permohonan turunnya hujan yang sebagian besar berasal dari hasil panen petani.
Kesenian ini dilakukan atau dipentaskan pada musim kemarau panjang.
2. Muyen
Muyen berasal dari kata Muyi artinya bayi, seni muyen artinya memandang bayi.
Biasanya, ketika seorang ibu melahirkan, masyarakat setempat berbondong-bondong mengunjunginya dengan membawa oleh-oleh.
Kecantikan seorang ibu saat melahirkan konon disukai oleh makhluk halus seperti jin dan setan. Bahkan bayi pun tidak lepas dari gangguannya hingga muncul tangisannya.
Untuk mengatasi hal tersebut, masyarakat kerap mengundang seorang lelaki tua atau dukun untuk mengusir makhluk yang secara tradisional telah melucuti keningnya.
Tradisi muong masih tetap eksis di masyarakat saat ini, bedanya oleh-oleh yang dibawa lebih bersifat modern karena pengaruh perkembangan modern.
3. Cowongan
Ritual Cowongan kini hanya digunakan sebagai simbol seni pertunjukan. Dahulu, cowongan berlangsung pada musim kemarau Panjang tiba.
Dahulu para Masyarakat menggunakan ritual Cowongan untuk memanggil hujan, terutama bagi pentane yang terkena dampak akibat kemarau yang Panjang.
Biasanya ritual ini dilakukan sejak akhir masa Kapat (masa yang dihitung menurut penanggalan Jawa).
Dalam prakteknya cowongan dilakukan dengan jumlah ganjil, misalnya 1, 3, 5 atau 7 kali, bila tidak hujan satu kali maka 3 kali dan seterusnya sampai hujan turun.
4. Baritan
Baritan merupakan ritual kesuburan yang berbasis seni. Baritan ada dua jenis, yaitu baritan yang digunakan untuk mendoakan hujan dan baritan yang digunakan untuk melindungi ternak.
Untuk memanggil hujan, berbagai kesenian biasa digunakan, seperti lengger, kacang, dan ebeg.
Baritan untuk keselamatan hewan peliharaan menggunakan lengger sebagai alat bantu ritual. Baritan biasanya dilakukan pada mangsa Kapat (sekitar bulan September).
5. Aksimuda
Aksimuda merupakan kegiatan yang dilakukan mahasiswa pada masa penjajahan Belanda sebagai bentuk apresiasi terhadap perlawanan terhadap penjajahan.
Terbukti dari tariannya yang menggunakan gerakan pencak silat yang dibawakan dengan iringan rebana dan lagu atau lantunan bernuansa Islami.
Aksimuda tumbuh dan berkembang di wilayah Kabupaten Banyumas seperti Kecamatan Tambak, Banyumas, Kebasen, dan Wangon yang pada saat itu banyak dihuni oleh para santri dan kiai sebagai gerakan Islam.
Setelah melalui perubahan zaman, Aksimuda menjadi sebuah seni pertunjukan dengan gerakan yang lebih beragam serta memiliki lagu-lagu tradisional dan modern yang mendobrak sehingga dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.***