
inNalar.com – Taukah kamu? ternyata di Kota Cimahi Selatan, Jawa Barat terdapat sebuah desa unik khas kearifan lokal warga Sunda yang sebagian besar luas wilayahnya dialokasikan untuk lahan pertanian singkong.
Nama tempatnya pun sangat unik dan identik dengan Bahasa Sunda tentunya, yaitu Desa Cireundeu, berasal dari pohon “reundeu,” yang dulunya jadi tanaman herbal paling subur di sana.
Adapun lokasinya, masih berdekatan dengan wilayah Garut dan Bandung, tepatnya di Kelurahan Leuwigajah, Kota Cimahi Selatan, Provinsi Jawa Barat.
Baca Juga: Prediksi AS Monaco vs PSG di Liga Prancis 2024 dan Live TV, Misi Tim Ibu Kota Perlebar Jarak Poin
Sesuai julukannya sebagai surganya singkong, mayoritas penduduk berprofesi sebagai petani umbi akar dan menggantungkan hidupnya dari sana.
Lantas, menapa mereka menjungjung tinggi adat Sunda dan memprioritaskan tanaman singkong? ternyata ada sejumlah fakta yang sangat mengejutkan. Yuk, simak selengkapnya!
Diketahui, Desa Cireundeu ini memiliki luas 64 hektare, hampir 90 persennya atau 60 hektare berupa hutan, dan 64 hektarenya digunakan untuk pemukiman.
Dalam rangka menyeimbangkan ekosistem antara manusia dengan alam, 60 hektare tersebut dibagi lagi menjadi 3 zonasi, yaitu leuweung larangan, tutupan dan baladahan.
Leuweung larangan atau hutan terlarang ini merupakan wilayah yang dilindungi dan tidak boleh dieksploitasi demi kesejahteraan sumber air dan lingkungan.
Sementara itu, leuweung tutupan atau hutan reboisasi, berisi pepohonan yang apabila ditebang mesti ditanam kembali, agar kondisinya tetap hijau dan asri.
Adapun luweung baladahan atau lahan pertanian di pedalaman Jawa Barat, inilah yang digunakan untuk bercocok tanam umbi-umbian terutama singkong.
Fakta lainnya, melansir laman Cimahikota.go.id, pada Selasa 17/12), ternyata desa unik Sunda ini eksis sejak lama, yakni sekitar abad ke-16 dan sudah menjadi tempat nyaman sekitar 5 generasi.
Saat ini, area pemukiman di sekitar desa unik Cimahi Selatan, Jawa Barat ini dihuni oleh sekitar 800 jiwa dari 50 keluarga adat yang mayoritas berprofesi sebagai petani umbi akar.
Baca Juga: Dilirik Kolektor! Ini Karakteristik Uang Kertas Kuno Rp10.000 Bergambar RA Kartini
Namun, berbeda dengan masyarakat adat lainnya, warga Desa Cireundeu ini memiliki kepercayaan kuat yang sudah mengakar hebat, yakni Sunda Wiwitan.
Meski seringkali banyak ditentang, Namun, masyarakat setempat tetap berpegang teguh dengan nilai-nilai dan prinsip yang dipercayainya tersebut.
Bahkan, di kawasan mereka terdapat makam leluhur yang lokasinya dijaga ketat karena saking dihormatinya, juga sering dipakai untuk berdoa atau merenung spiritual.
Baca Juga: Serupa Tapi Tak Sama, Inilah Ciri-Ciri Koin Rp 100 Rumah Gadang yang Lebih Mahal Harganya
Adapun beberapa prinsif mereka yang paling terkenal, yaitu “Gusti Sikang Sakang Sawiji Wiji” yang pada intinya, berarti bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta seluruh alam semesta.
Kemudian, istilah populer lainnya yaitu “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman” yang menunjukan komitemen mereka untuk menjungjung tinggi adat dan beradaftasi dengan zaman.
Oleh karenanya, meskipun menjungjung tinggi adat, daerah mereka menerima pemasangan listrik dan perkembangan teknologi, sehingga terdapat lampu, internet, wifi gratis dan alat pendukung lainnya.
Lantas, benarkah mereka sudah tidak lagi memakan olahan nasi dan berpindah pada singkong?
Melansir YouTube Jeng Uwi Langkahku, pada Selasa (17/12), masyarakat di Desa Sureundeu ini memang sudah terbiasa memakan olahan singkong yang dibuat seperti beras, namanya rasi.
Hal tersebut terbiasa sejak 1924 saat kondisi pailit, di mana lumbung padi kosong di seluruh tempat hingga mereka terpaksa membiasakan makan dengan singkong.
Sementara itu, mereka memulainya semenjak 1918, di mana kondisi sawah-sawah mulai mengering dan mulai kehabisan padi.
Namun, keadaan pailit ini menjadikan mereka lebih kreatif, sehingga kepikiran untuk menciptakan berbagai olahan berbahan singkong selain rasi.
Seperti haknya, opak, cireng, dendeng kulit yang terbuat dari singkong hingga makanan lainnya yang sampai saat ini beberapa masih laku dan diminati masyarakat.
Tak terbatas pada adat dan makanan pokok, ternyata wilayah unik ini juga mempunyai daya tarik lainnya hingga saat ini banyak dikunjungi sebagai objek wisata edukatif.
Di antaranya yaitu bangunan-bangunan unik, mulai dari tata letak rumah dengan pintu di samping dan menghadap ke timur guna memanfaatkan sinar matahari yang sehat di waktu pagi.
Selain itu, ada Saung Baraya dan Bale Saresehan yang menjadi pusat kegiatan bagian warga setempat, termasuk pertemuan dan pertunjukan seni.
Pertunjukan seni yang paling terkenalnya yaitu Gondang, Karinding dan Angklung Buncis, biasanya sejumlah kesenian ini tampil pada acara adat. Termasuk Satu Suro, yaitu penyambutan tamu.
Lebih lanjut, dari segi bangunan, ada Monumen Meriam Sapu Jagat yang terletak di pintu masuk gerbang desanya. Konon monumen ini simbol Ksatria penjaga tanah Sunda.
Tak lupa, hal yang sering kali menarik perhatian pengunjung yaitu keramah tamahan masyarakat sekitar juga budaya gotong royong yang begitu kuat.
Mereka terbiasa untuk saling membantu dalam kehidupan sehari-hari, termasuk juga perayaan-perayaan besar dan acara adat, seperti kelahiran, kematian dan pernikahan.
Dengan banyaknya singkong dan olahannya, hal ini sering kali banyak diborong okeh pengunjung atau wisatawan sebagai oleh-oleh khas Desa Sureundeu. ***