Guru Besar UGM Ungkap Suasana Rafah di Perbatasan Mesir-Palestina, Prof Sangidu: Novel Arab Ini Terbukti Nyata

inNalar.com – Seorang guru besar bidang sastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM) mengungkap kisah menarik di sela acara diskusi ilmiah ‘Bincang Isu Timur Tengah’ yang digelar pada Jumat, 7 Juni 2024.

Kisah yang dibagikan kepada para peserta forum merupakan pengalaman yang dialami langsung oleh seorang guru besar bidang sastra FIB UGM saat beliau berada di perbatasan Mesir dan Palestina, Kota Rafah.

Perkenalkan, sosok bersahaja yang satu ini namanya adalah Prof Dr Sangidu, M. Hum. Para mahasiswa akrab memanggil beliau dengan sapaan Prof Sangidu.

Baca Juga: Masuk Top 15 Sekolah Terbaik Eropa, Nasib Sekolah Super Elitnya Monako Ini Berujung ‘Digeser’, Ini Penyebabnya

Penting untuk diketahui, kisah yang beliau bagikan tersebut dibagikan dalam rangka memantik suasana diskusi bertajuk Identitas dan Eksil dalam Karya Sastra Arab Kontemporer.

Usai melalui beberapa kegiatan lawatan resminya mulai dari Qatar hingga Mesir, terdapat satu momen yang paling berkesan sekaligus menegangkan.

Momen yang dinilai sangat menegangkan adalah ketika beliau bersama rombongan akademisi lainnya melintas di sebuah kota legendaris bernama Rafah, tepatnya di perbatasan Mesir-Palestina.

Baca Juga: Cuma Bisa Tampung 160 Siswa, Sekolah di Swiss Ini Punya Dua Program untuk Musim yang Berbeda: Modal Masuknya Bikin Melongo!

Penjagaan ketat diterapkan meski mobil yang ditumpanginya merupakan kendaraan diplomatik.

“Untungnya saat itu kami menggunakan mobil diplomatik,” tutur Prof Sangidu.

Paspor dan sederetan keperluan dokumen pun diminta demi para rombongan yang berangkat bersama Prof Sangidu bisa melintas dengan aman.

Baca Juga: Berusia Nyaris 200 Tahun, Sekolah Elit di Inggris Ini Telah Memiliki 100 Persen Pasokan Energi Terbarukan

“Setiap jengkal itu diperiksa oleh para tentara dan polisi,” lanjutnya.

Menurutnya, suasana yang dialami olehnya bersama para rombongan sesuai dengan apa yang digambarkan seorang novelis Arab bernama Ghassan Kanafani.

“Apa yang ditulis di karya sastra berjudul ‘Rajulun fi Asy-Syams‘ karya Ghassan Kanafani ternyata terbukti,” ungkap Prof Sangidu dengan raut tegangnya.

Baca Juga: Didirikan oleh Raja George IV pada 1829, Sekolah Elit di Inggris Ini 25 Persen Muridnya Lanjutkan Studi ke Oxford

Sebagai informasi terlebih dahulu, Ghassan Kanafani merupakan seorang novelis sekaligus seorang politisi asal Palestina.

Karya paling fenomenalnya adalah novel pendek yang satu ini, Ar Rajulun fi Asy Syamsi atau ‘Manusia di Bawah Matahari’.

Novel yang disebutkan oleh sang guru besar sastra FIB UGM ini secara garis besar memang membahas tentang perjalanan 3 orang pria yang berusaha untuk melarikan diri ke Kuwait usai peristiwa Nakbah berkecamuk pada tahun 1948.

Baca Juga: 4 Sekolah Termahal di Dunia, Para Siswanya Sampai Difasilitasi Ipad dan Macbook

Novel yang diterbitkan pada tahun 1963 tersebut seolah menjadi gambaran nyata, menurut Prof Sangidu, bahwa para sastrawan Arab bukan sekadar menggambarkan imajinasi mereka.

Namun, lanjutnya, para novelis hingga penyair Arab terutama di Palestina adalah sosok perangkai data dan fakta ke dalam sebuah karya sastra yang lebih hidup.

Meski tanah yang dilintasi oleh rombongan kala itu merupakan perbatasan Mesir dan Palestina, tetapi keberadaan pasukan zionis Israel membuat suasana perjalanan menjadi semakin tegang.

Baca Juga: Arsip Sejarah Sekolah Internasional di Jerman Ini Terurai Lebih dari 140 meter: Dahulu Ditutup Paksa, tapi…

Sedikit banyak gambarannya sesuai dengan apa yang diceritakan oleh novelis Palestina Ghassan Kanafani.

Tiga Pemuda Palestina bernama Abu Qais, As’ad, dan Marwan, dalam novel tersebut, kala itu bertemu dan berencana untuk melintasi gurun berpasir secara ilegal.

Tujuan utama mereka adalah Kuwait, harapan akan hidup yang lebih baik di negeri tersebut menjadi motivasi utama mereka untuk berani melewati petualangan dan tantangan selama perjalanan.

Baca Juga: Lalui Masa Pedih Holocaust, Sekolah Asrama Tertua di Jerman Ini Simpan Jejak Pilu Para Pelajar Yahudi

Saat ketiganya diselundupkan dalam tangki air truk, seorang supir bernama Abu Khaizuran yang menjadi pemegang kunci kesuksesan misi mereka justru membalikkan keadaan menjadi nahas.

Ketakutan sang supir terhadap pos perlintasan yang ada di perbatasan membuat truk berhenti terlalu lama di siang terik yang memanggang kendaraan mereka.

Terlalu lama berhenti dan ketakutan terhadap pemeriksaan penjagaan perbatasan yang tiada akhir membuat ketiga tokoh tersebut meninggal dunia.

Baca Juga: Mulai Terima Ekspatriat Pada Tahun 2000-an, Sekolah Internasional di Dubai Ini Dulunya Cuma Tampung 17 Siswa

Penyebabnya adalah mereka tidak kuat dengan panas ekstremnya suhu tangki truk yang terlalu lama berhenti di bawah matahari.

Inilah sinopsis singkat novel arab yang diungkap Prof Sangidu dan menjadi sebuah gambaran nyata atas perasaan bergejolak yang dialami beliau saat melintasi perbatasan Mesir dan Palestina.

Sebagai informasi tambahan, Prof Dr Sangidu, M. Hum merupakan dosen senior di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Baca Juga: Tampung 700 Murid, Sekolah Elit di Pulau Malta Ini Dulunya Jadi Rumah Sakit Tua: Modal Masuknya…

Saat ini, beliau juga menjabat sebagai Ketua Departemen Antarbudaya FIB UGM yang menaungi prodi magister Kajian Budaya Timur Tengah dan Pengkajian Amerika.

Jejaring relasi yang sangat meluas membuat beliau sangat sering menjalankan agenda resmi lintas negara guna memperkuat kerja sama akademik.***

Rekomendasi