

inNalar.com – Pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate seluas 2,29 juta hektare di Merauke, Papua Selatan, menimbulkan kekhawatiran mendalam bagi beberapa komunitas adat di sana.
Pada dasarnya, Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate Merauke terbagi menjadi tiga bagian.
Bagian pertama adalah pengembangan perkebunan tebu dan pengembangan bioetanol dengan luas 500.000 hektare.
Kedua, pengoptimalisasian lahan menjadi 100.000 hektare yang awalnya hanya 40.000 hektare.
Ketiga, proyek pembuatan lahan sawah baru yang dikelola oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian, seluas satu juta hektare.
Proyek yang dimulai pada akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo dan akan dilanjutkan oleh Presiden Prabowo Subianto ini, telah menuai kritik dari berbagai pihak.
Baca Juga: Niat Menggali Sawah, Petani di Jawa Tengah ini Justru Temukan Harta Karun Emas Peninggalan Kerajaan
Pasalnya, pada tahun 2010, Merauke juga pernah dijadikan lokasi lumbung pangan melalui proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Tak tanggung-tanggung, proyek ini mencakup lahan seluas 1,2 juta hektar.
Namun, proyek ini gagal karena sebagian besar lahan merupakan lahan gambut yang tidak sesuai untuk pertanian padi dan sayuran.
Baca Juga: Pertama dan Satu-satunya di Dunia, Bendungan Bawah Tanah Seluas 2,75 Hektare Ada di Gunungkidul
Selain itu, ditemukan terdapat masalah dalam pengelolaan sumber daya manusia yang menimbulkan konflik tenaga kerja.
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, sebuah organisasi nirlaba yang fokus pada lingkungan dan perlindungan masyarakat adat, menuliskan catatan penting dalam dokumen briefing pada September 2024 mengenai PSN Merauke.
Mereka mengingatkan bahwa akan ada kemungkinan terulangnya kegagalan proyek tersebut. Dan mereka tidak ingin kegagalan itu terulang lagi.
Baca Juga: Epik! Enggan Gusur Tanah Warga, Jalan Tol di Yogyakarta ini Dibangun Melayang di Atas Sungai
Selain kekhawatiran tersebut, terdapat keresahan yang dirasakan masyarakat terhadap program ini.
Mereka tidak hanya takut akan kehilangan wilayah-wilayah hidupnya, tetapi juga merasa tertekan akibat kehadiran pasukan TNI di wilayah tersebut.
Alat berat penunjang proyek satu per satu seperti buldoser dan eskavator telah tiba di Kampung Wanam, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke.
Baca Juga: Paling Strategis di Jawa Timur, Mall Seluas 170.000 M2 di Surabaya Justru Sepi bak Kuburan
Gelombang pertama dikirim sebanyak 500 unit alat berat pada Bulan Juli tahun 2024.
Alat-alat ini digunakan untuk mendukung proyek PSN meliputi pembuatan lahan sawah dan pengembangan perkebunan tebu serta bioetanol.
Bulan berikutnya, 264 unit dari total 2.000 alat berat yang dipesan untuk proyek cetak sawah seluas satu juta hektar tiba secara bertahap menggunakan tongkang.
Alat-alat berat tini datang disertai dengan pengamanan oleh aparat militer.
Di mana pemerintah Indonesia menambah jumlah personel tentara untuk mendukung Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke.
Bagi masyarakat adat, kehadiran tambahan pasukan militer justru menimbulkan ketidaknyamanan dan keresahan masyarakat.
Menurut Romo Pius Cornelius Manu, warga-warga di sana yang sebelumnya merasa bebas kini merasa tidak bisa bersuara.
Ekonom dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengkritik rencana pengembangan lahan seluas 2,29 juta hektare ini.
Yang mana proyek ini bertujuan untuk swasembada pangan yang diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan saat itu yakni Zulkifli Hasan.
Achmad menilai proyek lumbung pangan di Papua ini melanjutkan praktik ekstraktivisme kolonial dan eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan asing yang pernah terjadi sebelumnya.
Selain kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan, masyarakat adat Papua juga khawatir akan kehilangan tanah dan lingkungan.
Seperti yang kita ketahui, bagi mereka tanah yang bukan hanya penting untuk kehidupan, tetapi juga memiliki nilai budaya dan spiritual.
Alih-alih memaksakan proyek food estate di Papua, Achmad menyarankan pendekatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Ia berpendapat bahwa proyek pangan seharusnya disertai dengan pemberdayaan petani lokal dan pengelolaan lahan yang berkelanjutan, serta pengawasan yang transparan.*** (Aliya Farras Prastina)