Gelombang Laut Capai 25 Meter! Selat Mematikan Dekat Amerika Selatan Ini Lahap 800 Kapal hingga 20 Ribu Nyawa

inNalar.com – Amerika Selatan, yang terletak di ujung benua, berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik, dan memiliki selat yang menghubungkannya dengan Samudra Antartika.

Selat tersebut bernama Selat Drake atau Drake Passage, yang terkenal sepanjang sejarah sebagai jalur laut paling mematikan di dunia.

Bahkan tak hanya omong-omong belaka, sejarah mencatat bahwa jalur maut ini telah merenggut lebih dari 800 kapal dan 20.000 nyawa melayang. 

Baca Juga: Tak Hanya Mandalika, Sirkuit Standar Internasional Sedang Dibangun di Jawa Timur, Dananya Habis Rp34 Miliar!

Namun, meskipun penuh risiko, selat ini tetap menjadi tujuan para petualang yang berani menempuh perjalanan menuju Antartika.

Lokasi dan Kondisi Geografis Selat Drake

Selat Drake membentang antara Tanjung Horn di Tierra del Fuego, ujung paling selatan Amerika Selatan, dan Pulau Livingston di Shetland Selatan. Rentang sepanjang 500 mil.

Baca Juga: Berpotensi Bangkrutkan 2 Negara Asean? Ini Megaproyek Maritim Besutan Thailand-China Senilai USD 20 Miliar

Menurut kanal YouTube Men While, selat ini memiliki lebar sekitar 1.000 km dengan kedalaman rata-rata 3.400 meter.

Selat ini memiliki titik terdalamnya yang mencapai 4.800 meter, setara dengan ketinggian Mont Blanc di Pegunungan Alpen.

Gelombang di Selat Drake juga dapat mencapai hingga 25 meter, setinggi gedung delapan lantai, terutama ketika cuaca ekstrem melanda. 

Baca Juga: Target Rampung Akhir 2024, Progres Pembangunan Jalan Feeder di Kawasan Inti IKN Capai Segini

Tidak adanya daratan yang menghalangi arus laut membuat angin bergerak bebas, terlebih selat ini jadi titik pertemuan arus dingin dari Antartika dengan arus hangat dari Samudra Atlantik dan Pasifik.

Oleh karenanya, cuaca di sekitar Selat Drake tidak stabil dan sulit diprediksi, kerap kali dihantam badai siklon yang dipicu oleh angin kencang yang dikenal sebagai “Roaring Forties” dan “Screaming Sixties.” 

Kecepatan arus laut di selat ini juga dapat mencapai antara 115 hingga 182 juta meter kubik per detik, sekitar 600 kali volume Sungai Amazon. 

Baca Juga: Kejar Prestasi Atlet Muda di Olimpiade 2028, Fasilitas Mewah Senilai Rp249 Miliar Bakal Dibangun di Cibubur

Perbedaan suhu dan kadar salinitas air, ditambah kontur dasar laut beragam, menciptakan arus kuat sehingga kapal-kapal yang melintas sering kali kesulitan bernavigasi dan kecelakaan. 

Sejarah Kelam Selat Drake

Dilansir dari berbagai sumber, asal-usul nama “Drake” berasal dari Sir Francis Drake, seorang penjelajah Inggris pada abad ke-16. 

Baca Juga: Terobos Daratan? Mega Proyek Rp 3,4 Triliun Ini Bakal Tembuskan Kapal Kargo dari Bekasi ke Cikarang

Meskipun ia sendiri tidak pernah melintasi selat ini secara langsung, ia dianggap berjasa dalam membuka jalur laut yang menghubungkan Samudra Atlantik dan Pasifik di selatan Amerika Selatan. 

Pada tahun 1578, Drake berlayar melewati Selat Magellan di ujung Amerika Selatan. Selama pelayarannya, badai besar memisahkan kapal-kapalnya, salah satunya terhanyut ke Selat Drake. 

Orang pertama yang benar-benar menyeberangi selat ini adalah Willem Schouten, penjelajah Belanda, pada tahun 1616. 

Jalur ini kemudian dikenal sebagai Selat Drake untuk menghormati Sir Francis Drake dan eksplorasi awalnya di wilayah tersebut. 

Namun, di Amerika Latin, selat ini juga dikenal sebagai “Mar de Hoces,” untuk menghormati Francisco de Hoces, navigator Spanyol yang kemungkinan besar menemukan selat ini lebih dulu, sekitar tahun 1525.

Dilansir dari Antarticacruises, catatan sejarah menunjukan bahwa sekitar 800 kapal pernah tenggelam dan diperkirakan lebih dari 20.000 nyawa melayang.

Pasalnya, perairan ganas ini telah lama menjadi ancaman bagi para pelaut, terutama di masa lalu, ketika teknologi kapal dan navigasi belum secanggih sekarang. 

Jalur ini juga menjadi satu-satunya penghubung laut langsung antara Amerika Selatan dan Antartika, walaupun setiap pelayaran di sana berisiko tinggi. 

Namun, dengan cuaca yang sulit diprediksi, arus yang kuat, dan ombak besar membuatnya menjadi tantangan berat bagi para pelaut, bahkan dengan peralatan modern sekalipun. *** (Gita Yulia) 

 

Rekomendasi