Diselimuti 8.000 Lumbung Padi, Kampung Adat di Sukabumi Ini Warganya Dilarang Jual Beras, Kok Bisa?

inNalar.com – Bertani adalah kehidupan. Seutas kalimat tersebut cocok menggambarkan Kampung Adat Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat yang konon banyak menyimpan cadangan makanan tapi uniknya para warga dilarang jual beras, kok bisa? Apa penyebabnya?

Kampung adat di Sukabumi ini yang gemah ripah ini berdiri di atas ketinggian 1100-1200 mdpl dan masih memegang kuat tradisi leluhurnya.

Ketika tiba di desa ini, kita akan disuguhkan dengan rumah dan pemandangan yang mencerminkan harmonisnya kehidupan manusia dengan alam.

Baca Juga: Jadwal Siaran Langsung Bola Hari Ini 14 Desember 2024: Liga Inggris, Piala AFF, hingga Liga 1

Dilansir dari YouTube Bingkai Desa, perkampungan di pedalaman Jawa Barat ini telah ada sejak 1368 masehi dan mencakup 2 kasepuhan.

Di dalamnya terdapat tiga jenis kawasan. Kawasan yang pertama dinamakan Lebong titipan, Leuweung tutup, dna lahan garapan.

Lembukaan atau lahan garapan adalah lahan yang digunakan untuk budidaya pertanian tanaman pangan.

Baca Juga: Tips dan Trik Menjadi Numismatik: Memulai Koleksi Uang Kuno untuk Pemula

Dihuni oleh sekitar 30 ribu jiwa yang bermukim di 580 kampung. Penduduk di sana umumnya berprofesi sebagai petani dengan pola pertanian yang dijalankan masih secara tradisional.

Uniknya, dengan mengikuti adat istiadat leluhurnya, kampung tradisional di Sukabumi ini warganya dilarang menjual padi atau beras dari hasil cocok tanam. Konsep ini disebut ‘bertani adalah kehidupan’.

Mereka meyakini bahwa ketika warganya menjual beras itu sama saja dengan menjual kehidupan mereka sendiri. Tanam padi dilakukan setahun sekali secara serentak. Mereka menentukan waktu tanam dengan melihat tanda-tanda alam.

Baca Juga: Gelontor Rp20,6 Triliun, BUMN Gesa 5 Program Prioritas, Smelter Tembaga di Gresik Jadi Target Bidikan

Berbeda dengan kondisi di wilayah lain yang selalu terpaku pada pupuk kimia, pertanian di Kampung Adat Ciptagelar ini tidak mengenal pupuk non-organik.

Konsep ‘bertani adalah kehidupan’ yang mereka pegang menjadikan kasepuhan Ciptagelar, Jawa Barat ini mampu berswasembada pangan hingga beberapa puluh tahun ke depan.

Ratusan lumbung padi berjejer dan menjaga ketahanan pangan 30.000 warganya.

Baca Juga: Pohon Kemenyan di Kampung Sumatera Utara ini Dulunya Hasilkan Getah Senilai Emas, Kini Nasibnya…

Konon, secara keseluruhan, desa di Jawa Barat ini memiliki 8.000 lumbung padi dengan cadangan beras yang mampu menghidupi masyarakatnya hingga 90 tahun kedepan.

Dilansir dari bappeda.jabarprov.go.id, setiap kali panen, penduduk menyimpan 10% padi di leuit. Tidak heran jika di sana banyak ditemukan padi yang usianya ratusan tahun.

Tidak hanya padi, Kampung Adat di tengah hampara bumi asri Sukabumi ini juga menanam tanaman yang dapat diperjualbelikan seperti sayur-mayur, buah-buahan atau palawija yang bisa ditanam bulan di luar musim tanam padi.

Baca Juga: Trauma Gempa Dahsyat, Warga Kampung di Yogyakarta Ini Hidupnya bak Suku Eskimo Kutub Utara

Kasepuhan Ciptagelar, Jawa Barat berada di areal 4900 hektar yang secara adat dibagi menjadi 3 bagian. Pertama, Lebong titipan yang sama sekali tidak boleh diganggu atau dimanfaatkan. Luasnya 50% dari area keseluruhan.

Kedua, hutan tutupan yang hanya boleh dimanfaatkan secara terbatas seperti hasil hutan non-kayu dan luasnya sebesar 30% dari area keseluruhan.

Sisanya, adalah hutan yang telah mereka buka untuk dihidupkan mereka sebagai sawah ladang dan permukiman sawah seluas 559 hektare.

Rata-rata dari warganya memiliki lahan garapan sendiri tetapi tidak boleh diperjualbelikan karena bukan milik pribadi.

Tradisi di kampung Jawa Barat ini masih sangat kental. Dalam satu tahun, Kampung Adat Ciptagelar ini dapat mengadakan lebih dari 30 upacara tradisi.

Beberapa diantaranya adalah Haraka Huma, Seren Taun, dan Tutup Nyambut.

Haraka Huma atau sedekah bumi adalah upacara slametan setiap mendapat hasil pertanian terkecuali jenis padi.

Kemudian tradisi Tutup Nyambut yang dilakukan sebagai ritual untuk berakhirnya musim tanam padi, lalu tradisi Seren Taun yakni tradisi memasukan padi ke dalam lumbung bernama Leuit Si Jimat.

Dilansir dari disparbud.jabarprov.go.id, meski pedesaan di tengah rerimbunan asri Jawa Barat ini masih ketat soal tradisinya, masyarakat di sana tidak menolak masuknya modernasi ke wilayah mereka.

Di perkampungan tersebut juga ada aliran listrik yang sumbernya diambil dari PLTA yang dibangun kokoh secara mandiri oleh masyarakatnya.

Uniknya lagi, warga perkampungan ini juga membangun sendiri stasiun televisi mereka. Namanya adalag CIGA TV juga ada pula radio bernama Radio Swara Ciptagelar.***