

inNalar – Di China ada sebuah desa yang terkenal ekstrim karena lokasinya berada di puncak tebing setinggi 800m, tepatnya di provinsi Sichuan.
Desa ini dikenal dengan nama “Desa Atule’er” atau “Village on the cliff”. Desa ini sudah berusia lebih dari 200 tahun.
Pada zaman dahulu untuk mencapai ke desa ini harus ditempuh melalui tangga bambu yang disusun sebagai tangga yang ditempel di pinggir sisi tebing jurang yang curam.
Baca Juga: Leher Panjang Menjadi Simbol Kecantikan Suku di Thailand Ini, Simak Tradisinya
Tangga maut ini tidak hanya digunakan oleh orang dewasa, tetapi juga digunakan oleh anak-anak adalam aktivitas sehari-hari. Baik itu kesekolah maupun pergi untuk aktivitas lainnya.
Tangga ini berbeda dengan tangga pada umumya karena memiliki ukuran yang sangat panjang. untuk menuju desa Atule’er butuh waktu 2 jam menggunakan tangga maut itu.
Karena akses jalan yang berbahaya, pada tahun 2016 pemerintah membangun tangga baja sebagai pengganti tangga bambu tersebut untuk memastikan keselamatan masyarakat.
Hingga di tahun 2020 pemerintah membuat program kerja untuk memindahkan beberapa keluarga ke wilayah yang lebih baik dan dekat dengan infrastruktur.
Tidak semua masyarakat menyetujuinya, 30 keluarga menolak dan memilih untuk tinggal menetap di desa Atule’er.
Tetapi bagi masyarakat yang mau pindah akan ditempatkan di appartemen dan saat ini mereka sudah berhasil keluar dari kemiskinan karena mempunyai pendapatan sama dengan rata-rata perkapita yaitu 6.000 yuan. Appartement tersebut memiliki ukuran luas 25 m persegi sampai 100 m persegi yang berjarak 75 km dari desa Atule’er.
Baca Juga: Suku Korowai, Penghuni Rumah Pohon di Belantara Papua yang Hidup Berdampingan dengan Alam
Desa Atule’er memiliki populasi penduduk hanya sejumlah 70 keluarga. Mayoritas penduduk disana merupakan keturunan suku Yi yang menjadi kelompok etnis minoritas di Tiongkok.
Kehidupan di desa cukup sulit sehingga sebagian besar masyarakat masih mempertahankan gaya tradisional yang terhubung dengan alam. Mayoritas masyarakat bekerja sebagai petani dan berternak. Pertanian di desa atule’er biasanya berupa tanaman cabai, jagung, dan kentang.
Dalam memperjual belikan hasil pertanian mereka butuh usaha yang kuat karena harus melewati anak tangga yang begitu panjang dan ekstrim.
Karena keunikan yang dimiliki oleh desa ini, pada tahun 2019 sebanyak 100.000 wisatawan datang berkunjung kesana hingga desa berhasil mendapat pemasukan sebesar 1.000.000 juan. Sehingga pemerintah mau untuk terus berupaya mengembangkan desa tersebut.
Rencananya pemerintah akan membangun kereta gantung yang lebih aman dibandingkan dengan tangga. Pemerintah percaya jika infrastruktur semakin baik akan menambah daya tarik desa untuk dikunjungi oleh wisatawan, tidak hanya dalam negeri tetapi wisatawan luar negeri juga. (***Gebriel Hemas)